Gue senang menceritakan segala keresahan-keresahan yang gue rasakan di blog ini. Dan kali ini gue gue pengen menceritakan keresahan yang pernah gue rasain di dunia maya.Social media adalah sesuatu yang sangat identik dengan dunia maya, bahkan saat ini jadi kata lain dari dunia maya. Sekarang, hampir semua umat manusia di muka bumi ini punya minimal satu akun social media. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-kakek, nenek-nekek, dan bahkan di Twitter, makhluk ghaib sejenis pocong pun bisa menjadi idola bagi para remaja-remaja unyu nan menggemaskan.
Gue sendiri, akun social media pertama yang gue punya adalah Friendster. Jujur, gue udah lupa fitur-fitur apa aja yang ada di Friendster. Udah lama banget soalnya. Hal yang gue inget dari Friendster cuma perihal kirim-kiriman testimoni. Selebihnya, gue udah lupa. Dulu, waktu gue masih main Friendster, gue sangatlah alay. Foto profil Friendster gue pun setelah gue coba inget-inget, ternyata sangat menjijikan, bahkan lebih menjijikan dari ingusnya Adul. Gue berpose manyun-manyun sok imut sambil nempelin jari telunjuk di bibir. Entah waktu itu gue lagi kesurupan setan kafir macam apa. Yang jelas, waktu itu, pose kayak gitu lagi ngehits di kalangan remaja-remaja gaul yang salah asuhan. Model rambut gue dulu juga masih belah tengah ngikutin gayanya Ariel Peterpan. Jadi, foto profil Friensdster gue mungkin bisa dibilang mirip kayak anak hasil dari perkawinan silang antara soang dan Ariel Peterpan.Seiring berjalannya waktu, Friendster mulai ditinggalkan. Muncul situs pertemanan baru di dunia maya yang sangat fenomenal, Facebook. Pada waktu itu, seseorang akan dianggap hina kalo engga punya akun Facebook. Dikucilkan dari pergaulan, Dipandang sebelah mata, dan di lempari batu. Karena gue engga mau hal itu menimpa gue, akhirnya gue memutuskan untuk ikut-ikutan bikin akun Facebook, sama kayak sebagian teman-teman gue yang lain. Agak maksa sih sebenernya. Karena gue waktu itu adalah bocah ingusan yang lumayan gaptek. Gue masih inget pas pertama kali gue ditanya sama temen perihal facebook. "Fer, gue minta facebook lo dong." Otomatis gue pun bingung harus jawab apa. Karena gue sendiri juga engga tau Facebook itu apaan. Gue mencoba tenang, walau panik, gue harus tetap terlihat cool. Dengan gaya yang sangat elegan dan senyum yang menawan, gue pun menjawab.. "hmmm.. Facebook ya? Duh sorry, Facebook gue ketinggalan di rumah. Besok deh gue bawa." Suasana sempat hening beberapa saat. Entahlah temen gue ini ngerti atau engga, lalu dia jawab.. "oh. Yaudah. Besok aja engga apa-apa." Facebook adalah situs pertemanan paling populer saat itu. Hampir semua temen gue punya akun Facebook. Setelah gue tau Facebook itu apa, lalu secepat mungkin gue langsung minta dibikinin sama temen gue. Ya itu tadi, karena dulu gue masih gaptek. Yang waktu itu gue ngerti cuma gimana caranya ngetik keyboard komputer pake tangan. Itu juga gue ngetiknya cuma bisa pake jari telunjuk. Nulis beberapa kalimat aja kadang bisa sampe setengah jam. Akun facebook gue pun akhirnya lahir dengan selamat berkat bantuan dari temen gue. Dan gue langsung kasih nama... Ferdy Benci Anarkiezz. Masalah kembali muncul ketika gue tau, ternyata temen gue cuma bikin akun Facebook gue doang. Tanpa ada foto profil yang terpampang di sana. Niatnya gue mau minta tolong lagi sama temen gue buat masukin foto, cuma gue engga enak, takut ngerepotin. Akhirnya akun Facebook itu gue biarkan kosong dan sepi seperti sebuah Hati. Hati Jomblo. Setelah punya akun Facebook, gue jadi norak. Semua temen gue yang lewat di depan gue langsung gue tanyain nama akun Facebooknya apa. Terus gue catet di kertas dan pas pulang sekolah langsung gue Add. Tujuannya simple, cuma buat gaya-gayaan doang, biar keliatan keren aja. Karena waktu itu, semakin banyak jumlah teman di facebook, maka semakin bertambah tinggi pula kedudukan sosial seseorang. Foto profil Facebook gue yang kosong tadi, masih jadi masalah yang membuat hati gue resah dan gelisah. Gue jadi engga bisa tidur nyenyak. Hampir semua akun Facebook temen gue, ada foto profilnya. Sedangkan akun Facebook gue masih tetap tanpa foto profil. Setiap ada temen gue yang nanya.. "fer, Facebook lo kok engga ada foto profilnya sih?" gue cuma bisa jawab dengan sok bijaksana.. "iya nih, duh...gimana ya, gue orangnya engga narsis sih. Makanya gue males masang foto profil Facebook." padahal dari dalam hati gue yang paling dalam, gue berteriak.."KAMPREEET! GUE ENGGA TAU GIMANA CARANYA MASANG FOTO PROFIL FACEBOOK!! BANTUIN LAH WOOOY!!" Akhirnya Facebook pun bernasib sama seperti halnya Friendster. Mulai ditinggalkan karena makin kesini, orang makin sadar, Facebook udah engga seasik kayak dulu. Mulai banyak alien dan makhluk astral yang ikutan main Facebook. Situasi itu yang bikin sebagian pengguna facebook, hijrah ke situs social media baru yang bernama Twitter. Awalnya gue sama sekali engga tertarik buat main twitter, karena temen gue masih banyak yang main Facebook. Gue terpaksa main Twitter karena cewek gue waktu itu, maksa gue buat bikin akun Twitter. Ya daripada dia nanti ngambek terus gue di Kamehameha, akhirnya dengan terpaksa gue nurutin kemauannya dia. Pertama buka twitter, gue bingung. Karena waktu itu belum banyak temen gue yang main twitter. Ada sebagian yang udah main twitter, tapi gue engga tau username-nya mereka apa. Hal pertama yang gue lakuin di twitter adalah ngefollow akun artis-artis yang engga jelas asal muasalnya dari planet mana. Sampai akhirnya secara engga sengaja gue ngefollow sebuah akun yang konten tweetnya menarik. Setiap hari akun itu selalu ngetweet hal-hal yang di luar nalar. Bisa dibilang aneh. Tapi gue suka. Karena menurut gue dia itu terlihat berbeda dari akun twitter lainnya. Setiap hari gue selalu baca tweetnya. Dan tanpa gue sadari, gue mulai terpengaruh dengan ide-ide absurd-nya. Gue mulai tertantang buat nyoba ngetweet kayak dia.Dalam hal ini gue bukannya meniru isi tweetnya, tapi gue meniru sudut pandangnya. Sudut pandang yang gue curi dari dia adalah gimana caranya mengungkapkan keresah terhadap suatu hal dengan cara yang menyenangkan. Ya semacam cara buat merubah curhat yang menye-menye, menjadi curhat yang elegan. Memang awalnya gue kesulitan, tapi lama-lama gue mulai terbiasa. Dan kebiasaan itu masih melekat sampai sekarang. Bahkan dengan sudut pandang itu, gue jadi bisa berpikir lebih dewasa. Iya, Twitter mendewasakan gue. Banyak hal baru yang gue dapat dari Twitter. Gue bertemu orang-orang luar biasa dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Sudut pandang mereka juga terus gue ambil. Tentu engga semuanya, cuma sudut pandang yang sekiranya cocok dengan diri gue sendiri.
0 omen:
Posting Komentar