*Sebelum membaca ini, ada baiknya sambil dengerin instrumen piano lagu Yiruma – River Flows In You.*
“Ngapain lo ke sini lagi?!” Bentak Rika pada seorang cowok yang mendatangi rumahnya malam-malam buta. Cowok itu beberapa hari ini sering digosipkan oleh teman-teman kampusnya sedang menyukainya, terlebih nama dan wajah cowok itu mirip dengannya. Bahkan beberapa teman-teman Rika meledeknya, jika ada lawan jenis yang bernama dan berwajah mirip itu tandanya jodoh.
“Gue cuma mau kasih ini buat ulang tahun lo tanggal 12 Mei, Ka,” ucap cowok itu dan menyerahkan sebuah kotak putih yang dihiasi pita berwarna biru sambil menundukkan kepala.
Rika memandang sinis dan mutar bola matanya. “Yahelah, masih seminggu lagi kali. Elo tuh, Ki, daripada ngasih kado buat gue, mending uangnya buat makan atau bayar kontrakan. Dasar orang miskin! Sok-sok-an ngasih kado. Paling juga barang murah!” ejek Rika.
Cowok yang bernama Riki itu tersentak mendengar ucapan Rika. Dia tau bahwa status sosialnya adalah orang kurang mampu, tapi tidak seharusnya dia dihina seperti itu. Perasaannya terluka sekali, namun dia tetap bersabar menghadapi Rika. Dia tau, Rika menjadi seperti ini karena lingkunganlah yang membentuk dirinya. Dan dari awal niatnya adalah memberi kado untuk ulang tahun Rika yang ke-21, meskipun dia tau nantinya Rika pasti akan menolaknya.
“Rika, ada tamu?” tanya seorang perempuan setengah berteriak dari dalam rumah. Dari suaranya, perempuan itu berumur sekitar empat puluh tahunan. “Disuruh masuk aja, nggak enak malam-malam gini ngobrol di luar,” lanjutnya.
“Enggak, cuma orang gak jelas, Mih. Ini lagi Rika usir,” ucap Rika malas tanpa memalingkan badannya ke dalam.
Tidak ada suara lagi.
“Udah deh, Ki. Pergi sana! Gue mau tidur, ngeganggu aja lo malam-malam gini!” usir Rika.
“Oke, selamat malam. Maaf gue udah ganggu,” pamit Riki, kemudian dia mulai beranjak pergi dan Rika pun menutup pintunya.
Saat Rika sudah menutup pintunya, diam-diam Riki menaruh kotak kado itu di depan pintu. Dia mengusap kado itu dengan penuh rasa bahagia bercampur kecewa. Riki berharap kado itu diambilnya keesokan hari.
***
“Eh, masa si Riki yang pernah kalian omongan itu semalam ke rumah gue,” ucap Rika membuka obrolan dengan teman-teman kampusnya; Revi, Sabrina, Nina, dan Feni. Di kantin saat jam istirahat.
“Serius lo? Ngapain?” tanya Sabrina penasaran.
Rika menghembuskan napasnya sejenak. “Dia ngasih kado ulang tahun gitu ke gue.”
“Terus lo terima?” Kali ini Revi yang bertanya.
“Enggak, gue usir aja. Abis malam-malam ke rumah gue, ngeganggu banget.”
Sambil memotong batagor di piringnya, Sabrina menatap iba. “Tapi nggak seharusnya lo ngelakuin itu kali, Rik. Hargain dikitlah, namanya juga orang ngasih hadiah buat ulang tahun.”
“Gue nggak sudi nerimanya, apalagi yang ngasih orang miskin,” ucap Rika ketus.
Keempat temannya menatap Rika dengan tatapan tidak suka.
“Gini loh, Rik. Gue tau lo emang paling anti sama cowok yang katakanlah orang miskin. Lo emang cantik, tapi menurut gue, elo udah keterlaluan. Nggak seharusnya lo ngelakuin itu,” ujar Revi.
Nina yang sedari tadi sibuk dengan nasi goreng yang dia makan angkat bicara. “Iyalah, menurut gue lo keterlaluan banget. Nih ya, dulu waktu gue pacaran sama si Roy, dia kan anak rantauan tuh, dia tinggal sendirian dan susah banget. Pas aniversarry setahun, dia ngasih gue kado cincin perak yang ada inisial namanya dia,” kenang Nina, lalu dia menghentikan makannya sejenak untuk memperlihatkan cincin dari mantan kekasihnya yang kini dijadikan kalung.
“Nih cincinnya. Saat dia ngasih ini, gue speechless banget. Gue tau harga cincin ini nggak murah. Kalo dihitung-hitung nih ya, harga cincin ini seharga biaya ngekosnya tiga bulan. Kalian tau kan ini artinya apa?”
Revi, Nina, dan Feni mengangguk. “Dia sayang banget sama lo,” sambar Revi mantap, lalu malah menggoda Nina. “Eh, masih nyimpen barang dari mantan nih yeee. Pantes lo belum bisa move on.”
Wajah Nina memerah menyadari perbuatannya sama saja dengan curhat. “Ih biarin, bodo. Rese lo, Rev,” ucap Nina bete.
“Ini tuh bukan perihal seberapa mahal nilai barangnya atau siapa yang ngasih, Rik. Tapi seberapa tulus seseorang itu memberikannya. Lo nggak tau kan perjuangan apa yang dilakuin Riki demi ngasih kado itu buat lo? Dan lo nggak tau kan gimana perasaan dia saat lo ngomong gitu?” tanya Nina.
Rika hanya terdiam dan merasa bersalah tentunya.
“Orang nggak akan bego buang-buang uangnya untuk ngasih sesuatu yang berharga buat orang lain kalo nggak ada tujuan yang jelas. Terlebih orang itu bukan orang yang punya banyak duit. Inget, Rik, jangan melihat harga barangnya atau siapa yang ngasih. Tapi liat ketulusan dia memberikan barang itu,” lanjut Nina menasihati Rika.
Rika kini merasa sangat bersalah. Benar yang dikatakan teman-temannya. Tidak seharusnya dia melakukan perbuatan sejahat itu, tapi semuanya sudah terlanjur. Rika membayangkan bagaimana jika dia berada di posisi Riki? Pasti sangat sakit hati.
Awalnya, Rika mengira bahwa Riki hanya akan mendekatinya, dan itu jelas membuat Rika merasa akan mempermalukan dirinya saja. Riki bukanlah levelnya.
***
Riki mengecek uangnya di mesin ATM dekat kampus. Sisa saldonya tinggal Rp.223.000. Dia menggunakan hampir separuh gajinya bulan ini untuk membeli kado ulang tahun Rika. Sepasang sepatu plastik sebening kaca merk terkenal seharga hampir tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, yang dia beli di sebuah mal besar di kawasan Jakarta pusat. Kini sepatu yang mirip dengan milik tokoh dongeng Cinderella itu entah bagaimana nasibnya.
Sesampainya di kos, dia mandi untuk menyegarkan diri dan berharap rasa kecewa di hatinya hilang meski sedikit saja. Terlebih dia sudah pasrah untuk makan esok hari. Dia harus lebih irit menggunakan sisa uangnya dan semoga ada temannya berbaik hati untuk meminjamkan uangnya. Dengan perasaan yang sangat kecewa, dia membuka dompetnya dan memperhatikan selembar foto yang membuatnya mengingat seorang anak kecil yang bermimpi menjadi Cinderella.
***
Tiiiiiiiiiinnn…
Suara klaskon nyaring terdengar tidak jauh dari gerbang kampus, diiringi dengan tabrakan hebat antara sebuah mobil Toyota Yaris biru dan Metromini.
Ciiiiitttt… Suara decitan ban yang tertarik pedal rem terkikis aspal dan disusul suara…
Braaakkkkkk! Tabrakan keras pun terjadi.
Sebuah kecelakaan maut menimpa Rika. Ya, dia yang mengemudikan Toyota Yaris biru itu.
“RIKA! RIKAAAA! KAMU NGGAK APA-APA KAN?!” Riki panik bukan kepalangan saat mengetahui mobil Rika yang tertabrak Metromini itu. Dia mencoba menyadarkan Rika yang bersimbah darah di pinggir jalan.
Riki menangis tak peduli tatapan orang di sekitarnya. Dia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang menjadi alasannya untuk hidup. Orang yang membuatnya tetap semangat meski dalam kesusahan, dan satu-satunya orang yang dimilikinya dalam hidup ini.
Tidak lama, sirine mobil ambulance terdengar nyaring saat mendekat, kemudian membawa tubuh Rika ke rumah sakit terdekat.
***
Riki duduk lesu di bangku yang terletak di depan ruang UGD. Bau obat yang cukup menusuk hidung membuat pikiranna semakin berkecamuk. Hatinya tertusuk-tusuk mengingat musibah yang menimpa Rika. Doa tak hentinya dia ucapkan untuk keselamatan gadis itu. Meskipun baru sekarang dia berani menunjukkan dirinya dalam kehidupan Rika.
Selama ini, Riki hanya memandang Rika dari kejauhan. Memperhatikan gadis itu dari kejauhan sejak lima tahun yang lalu tanpa berani sedikitpun menyentuh gadis itu. Dia malu. Dia adalah orang miskin, beda dengan Rika yang hidup di keluarga yang kaya raya.
Riki tinggal sendiri, ayahnya telah meninggal karena penyakit stroke dua tahun lalu. Dalam kehidupannya yang pas-pasan, Riki tetap berjuang. Demi sekolah dan kuliahnya, dia bekerja sambilan mulai dari menjadi kurir angkut barang, penjaga toko, hingga pramusaji. Semua dijalaninya demi bertahan hidup dan menjaga Rika dalam jarak yang dibuatnya.
Lamunan Riki terhenti saat pintu UGD berbunyi dan dokter yang menangani Rika keluar dari ruangan. Dia mengusap wajahnya yang terlihat kacau.
Riki menghampiri dokter, melirik nama dokter itu di pin jas putihnya lalu berkata, “Bagaimana keadaannya, Dokter Hanif? Dia nggak apa-apa kan?”
Dokter Hanif bemenggelengkan kepala. “Kondisinya sangat parah.” Riki terkesiap mendengar perkataan dokter itu.
“Dia selamat, tetapi–” Dokter Hanif menahan kalimatnya.
“Tetapi kenapa, dok? KENAPA?! JELASIN YANG JELAS!” bentak Riki tidak dapat menahan emosinya.
Dokter Hanif menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan keadaan Rika.
“Sabar dulu, Mas. Begini…” Dokter Hanif menghembuskan napasnya sejenak. “Dia kehilangan kedua pengelihatannya. Entah sementara atau permanen. Kecelakaan itu mengakibatkan benturan keras di bagian dahinya, sehingga kedua kornea matanya sobek karena trauma.”
Riki terduduk lemas mendengar penjelasan dokter Hanif. Rahangnya mengeras. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Rika. Andai saja dia bisa mencegah musibah sialan ini.
“Lalu apa yang bisa saya lakukan, Dok?” tanya Riki pasrah.
Mereka berdua berdiskusi dalam upaya menyelamatkan Rika. Sementara, di dalam ruang UGD, Rika mungkin belum menyadari kenyataan pahit yang akan dia hadapi setelah dia sadar.
***
“DINA! Selalu saja kamu tidak pernah merasa cukup dengan yang sudah aku berikan untuk keluarga ini!” bentak Pak Riza.
“YA JELASLAH! Kamu bekerja siang dan malam nggak nyukupin keluarga kita! Aku nggak mau hidup susah kayak gini!” Tidak kalah ibu Dina membentak suaminya.
“Saya menyesal telah menikah dengan kamu! Benar kata ibu dulu, saya nggak akan hidup cukup dan bahagia dengan kamu!”
Pak Riza tersentak mendengar istrinya berkata seperti itu. Dia mengepalkan tangannya.
“APA?! KAMU MAU MENAMPAR SAYA?! TAMPAR SAJA! Dengan menampar saya pun kamu nggak akan bikin kamu kaya!”
“Gaya hidup kamu yang membuat kita begini, Dina.”
“Jelas! Orang tua saya orang berada, kaya raya. Beda seperti kamu, miskin! Mulai saat ini, kita hidup masing-masing. Saya sudah tidak tahan. Saya pergi dari rumah ini!”
Sementara pertengkaran mereka berdua, dua anak kecil mengintip dari sela-sela pintu kamar mereka. Yang satu, perempuan berumur lima tahun, yang satu lagi laki-laki berumur tujuh tahun. Mereka meratap sedih melihat kedua orang tuanya bertengkar.
“Kakak, mama cama papa kenapa belantem lagi? Huuu…” Si perempuan menangis terisak.
“Nggak tauuu, sabar ya Iko. Kamu mau kakak kasih hadiah apa buat ulang tahun nanti?” tanya sang kakak dengan senyum kecilnya, berharap adiknya tidak menangis lagi.
“Cepatu kaca, yang milip punya Cindelella, kak Ikie,” pinta adiknya. Gigi putih susu yang berderet di di balik senyum kecil itu membuat si kakak mengusap pipinya.
“Iya, nanti kakak beliin. Kakak nabung dulu ya, sekarang kamu jangan nangis lagi.” Si kakak mengangguk menyanggupi permintaan adik.
Akhirnya si kakak menutup pintu kamarnya membiarkan orang tua mereka menyelesaikan pertengkarannya. Keduanya tertidur pulas dalam posisi berpelukan setelah lelah menangis. Hingga tanpa sadar, saat salah satunya terbangun, mereka sudah tidak lagi bersama.
***
Tiga jam kemudian, Dina, ibu Rika, tiba di ruangan ICU setelah terbang dari Pontianak mengurusi bisnisnya. Sesampainya di rumah sakit, dia syok mendengar penjelasan dokter Hanif bahwa putri kesayangannya kehilangan pengelihatannya. Dan dia juga merasa penasaran dengan orang yang membawa anaknya ke rumah sakit.
“Siapa orang yang membawa anak saya ke sini, Dok?”
“Entah, saya lupa menanyakan nama laki-laki itu. Saat itu dia terlihat kacau sekali saat mendengar kabar yang saya sampaikan kepada ibu.”
“Apakah dia yang menyebabkan putri saya menjadi begini?” tanya ibu Dina menyelidiki.
“Sepertinya bukan, dia terlihat orang yang baik. Malah dia menanyakan saya bagaimana cara mengembalikan pengelihatan anak ibu.”
Ibu Dina heran mendengar ucapan dokter Hanif. Dia baru saja menanyakan bagaimana cara menolong pengelihatan Rika. Dia menebak-nebak siapa laki-laki yang membawa anaknya dan ingin menolongnya.
***
Keesokan sorenya, jemari tangan Rika bergerak. “Syukurlah, nak. Kamu cepat siuman,” ucap ibu Dina sambil menggenggam tangan Rika.
“Mih, mamihhh…” ucap Rika serak.
“Iya, sayang. Mamih di sini, di samping kamu.”
Rika berusaha perlahan-lahan membangunkan tubuhnya, namun mamanya mencegah karena kondisi tubuh Rika masih terlalu. Rika merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit. Terlebih matanya yang terasa agak perih. Kedua tangannya menyentuh kepalanya, merasakan ada kain halus yang melingkari kepalanya. Matanya yang kini dibalut perban.
“Mih, kok kepala Rika diperban?” tanya Rika, masih belum menyadari bahwa dia kehilangan pengelihatannya.”
“Iya, kamu kan kecelakaan kemarin jadinya diperban sementara buat nutupin luka kamu.” Mamanya berusaha setenang mungkin mengucapkannya.
“Mih, mamih kok kayak orang mau nangis?” tanya Rika sambil berusaha melepas perbannya. Setelah perbannya terlepas, hasilnya sama saja. Hanya hitam pekat yang melihatnya. Dia menyadari ada yang tidak beres pada pengeliahatannya.
“Mih, kok masih gelap sih?”
***
Riki datang ke rumah sakit dengan motor bututnya. Rasa cemas semakin beranak pinak di dalam dada dan pikirannya. Sesampainya di ruang dokter Hanif, dia langsung melanjutkan pembicaraan yang kemarin sempat berhenti karena dokter Hanif harus memeriksa pasien lainnya.
“Kamu yakin ingin melakukan ini?” tanya dokter Hanif ragu sambil memberikan berkas-berkas yang harus diisi oleh Riki,
“Selagi saya bisa menolongnya, apapun akan saya lakukan, Dok,” jawab Riki dengan penuh keyakinan. Meski dia tau apa yang akan terjadi padanya nanti.
Dokter Hanif menimang-nimang keputusan Riki. Dia memperhatikan wajah Riki sekilas.
“Kamu laki-laki hebat, Rik, saya salut sama keputusan kamu. Biasanya, orang akan mendonorkan kornea matanya jika orang itu sudah meninggal,” puji dokter Hanif. “Kalau saya boleh tau, apa alasan kamu melakukan ini?”
Riki tersenyum. “Karena saya menyayanginya, Dok. Saya menerima risikonya meskipun saya akan buta total. Asalkan dia bisa melihat dunia seperti semula, saya akan dengan senang hati bersedia melakukannya,” ucap Riki setelah membubuhkan tanda tangan terakhir selesai untuk melengkapi berkas persyaratan donornya.
Dokter Hanif tersenyum mengerti. “Oh iya, kalau saya perhatikan, selain nama, wajah kamu dan Rika cukup mirip ya.”
Riki semakin mengembangkan senyumnya, dokter Hanif menyadari kemiripannya dengan Rika, lalu dia berkata, “Itu juga salah satu alasan saya menolong Rika. Dia itu sebenarnya… –”
“Selamat siang, Dokter.” Ibu Dina tiba-tiba membuka memasuki ruangan. Dokter Hanif melihat ke arah pintu. “Ah, kebetulan sekali ibu Dina datang.”
Ibu Dina masuk ke ruangannya dan langsung terkesima tidak percaya melihat laki-laki yang menjadi lawan bicara dokter Hanif. “Kamu… kamu…”
Riki juga kaget menyadari perempuan yang datang ke ruangan ini. Suasana mendadak hening dan kaku. Dokter Hanif pun terlihat kikuk.
“Kamu, Riki ‘kan? Kamu kenapa bisa di sini?”
“Saya di sini mau menolong adik saya,” jawab Riki dengan nada ketus. Hatinya langsung terasa sakit sekali melihat perempuan yang meninggalkan dia dan ayahnya hanya demi harta. Perempuan yang memisahkan anak-anaknya sendiri
Ibu Dina berlari memeluk Riki, namun Riki menahannya. “Jangan memeluk saya, saya bukan anak kamu,” ucap Riki dingin. Rahangnya mengeras. Dia menahan air matanya.
Dokter Hanif berusaha memahami suasana ini. Adegan yang dilihatnya saat ini bukanlah urusannya. “Sebaiknya, saya keluar ruangan dulu. Silahkan dibicarakan,” ucap dokter Hanif kemudian keluar dari ruangannya sendiri dan menunggunya di luar.
“Riki, jangan begitu, nak. Maafkan mamih.”
“Nggak ada yang perlu dimaafkan, Mih. Tujuan saya ke sini hanya untuk menolong Rika. Saya nggak ada urusan dengan mamih,” jelas Riki.
Ibu Dina memeluk paksa Riki dengan sejuta rasa rindu dan bersalahnya. Selama bertahun-tahun dia mencampakkan anaknya sendiri beserta suaminya. Dia menikah lagi dengan seorang pengusaha batu bara dari Kalimantan dan pindah ke sana membawa Rika. Semenjak saat itu, ibu Dina tidak pernah lagi bertemu dengan suaminya dan Riki. Hingga semesta mempertemukannya lagi dengan anak laki-lakinya yang kini telah tumbuh dewasa.
“Maafin mamih, Rik. Mamih mohon,”
“Kamu masih punya malu untuk mengakui diri kamu sebagai mama saya?” Riki mengatakannya dengan nada menahan emosi. “Saya sudah bilang, saya ke sini mau menyelamatkan adik saya, bukan ingin bertemu kamu.” Riki kemudian keluar meninggalkan ruangan.
***
Semua ini demi kamu. Semoga setelah semua ini berlalu, kamu menjalani hari-hari kamu seperti dulu lagi,” ucap Riki menggenggam erat tangan Rika yang tertidur karena efek obat bius.
Tak lama kemudian, kesadaran Riki pun perlahan menghilang setelah anestesi menjalar di syaraf tubuhnya lewat jarum suntik. Lampu-lampu besar menerangi keduanya, disusul gerakan dokter yang cekatan menggunakan alat-alat operasi.
Dalam ketidaksadarannya, air mata Riki turun. Riki tersenyum.
Semua ini demi kamu, Iko.
***
Di sebuah pagi yang tenang dan ranum. Semburat awan putih menggantung pada langit biru, sebiru harapan. Sinar mentari perlahan-lahan memasuki sela-sela jendela yang dibuka oleh suster yang mengakhiri shift paginya agar udara bersih memasuki kamar Rika. Sayup-sayup suara aktivitas rumah sakit mulai terdengar.
Rika terbangun dari tidur panjangnya. Kepalanya terasa agak pusing dan ada kain lagi yang melingkari kepalanya seperti kemarin. Kali ini, kedua matanya terasa pegal sekali, rasanya seperti lelah bermalam-malam duduk di depan komputer. Tubuhnya pun terasa lemas.
“Kamu udah bangun, sayang? Selamat pagi,” sapa mamanya lembut. Kantong mata ibu Dina terlihat besar dan sembab, seperti habis menangis semalaman. Dia menggenggam tangan anaknya. “Kamu mau sarapan apa, Rika?”
“Belum laper, Mih. Duh, mata Rika kok mata Rika diperban lagi? Abis diobatin yah?” tanya Rika masih belum sepenuhnya sadar.
Ibu Dina mengelus rambut anaknya. “Iya, mata kamu abis diobatin supaya sembuh, sayang.” Ada rasa getir saat dia mengucapkannya.
“Syukur deh kalo gitu, aku takut banget banget tau, Mih. Masa kemarin ngeliatnya cuma hitam. Aku kan takut gelap.”
“Iya, sayang. Cepet sembuh ya.”
“Perbannya udah boleh dilepas kan? Aku mau cek handphone aku nih, pasti banyak temen-temen yang nanyain kabar aku. Ulang tahun kok malah masuk rumah sakit,” gerutu Rika
“Sabar ya, tunggu dulu biar dokter yang ngelepasnya,” saran Mamanya
Setengah jam kemudian, dokter Hanif beserta dua orang suster datang ke kamar Rika dan membantu proses pembukaan perbannya.
***
Rika bangun dari tidurnya dan melihat mamanya tidak berada di sampingnya. Mungkin mamanya sedang di kantor pikirnya. Dia mengecek handphone-nya dan mendapatkan pesan dari teman-temannya yang menanyakan perihal kabarnya, ada juga yang mengucapkan selamat ulang tahun, juga ada beberapa pesan dari mamanya yang mengingatkan jangan lupa makan akan kembali menemaninya sepulang kantor.
Setelah membalas pesan mamanya, dia bergegas mandi karena rasa gerah menjalari tubuhnya. Setelah bangun dan mengumpulkan kekuatannya, dia melangkah ke kamar mandi dengan handuk putih yang tersedia di meja besi yang berada di samping tempat tidurnya.
Selesai mandi, Rika mengeringkan rambutnya di depan kaca. Dia memperhatikan wajahnya secara seksama untuk melihat adanya bekas luka kecelakaannya lalu. Saat mendekatkan wajahnya ke cermin, dia melihat ada yang berbeda pada matanya.
Ini efek obat apa ya? Dia bertanya dalam hati.
Dia memastikan sekali lagi. Seperti ada yang terjadi pada matanya. Dia tiba-tiba merasa khawatir. Rika kemudian memanggil suster lewat bel yang terpampang di dinding kamarnya.
Lima menit kemudian suster yang kemarin membantu melepas perban datang ke kamarnya.
“Ada yang bisa saya bantu, mbak?” tanya suster itu.
“Ini mata saya kenapa ya, Sus? Kok terasa ada yang aneh sama mata saya, ya? Apa karna efek obat?”
“Lho, mbak kan dua hari lalu abis operasi donor kornea mata,” jawab suster itu polos. Rika kaget dan bingung mendengarnya.
“Donor kornea mata mbak? Mata siapa? Kok saya nggak tau?” Kali ini suster yang bingung mendengar pertanyaan Rika.
“Iya, kemarin mbak sempet kehilangan pengelihatan karena kecelakaan. Terus ada orang yang ngedonorin kornea mata buat mbak,” jelas sang suster menjelaskan apa yang dia ketahui.
Rika masih belum percaya dengan penjelasan suster itu. “Yaudah deh, Sus. Biar nanti saya tanya sama dokter dan mama saya aja deh. Terima kasih.”
“Iya, sama-sama mbak. Kalo ada yang dibutuhkan panggil lagi aja, ya,” pamit suster itu lalu keluar dari kamar Rika.
Setelah suster itu keluar, Rika terpejam menyentuh kelopak matanya, lalu dia membuka matanya dan menyapu pandangannya ke sekililing kamarnya. Dia masih belum percaya dengan apa yang telah terjadi.
Selesai menutup pintu kamar, Rika menemukan sebuah kotak putih berpita biru yang teronggok di bangku tempat mamanya tidur. Dia menghampiri bangku itu dan membuka kotaknya.
Sepasang sepatu plastik sebening kaca dan sebuah surat beramplop biru senada dengan pitanya.
“Ini kan kado dari Riki,” ucap Rika lalu membaca suratnya.
***
Selamat ulang tahun ke-21, Iko, Cinderella.
Aku harap kamu semakin dewasa dan semakin cantik seperti Cinderella. Semoga kamu bisa melihat dunia seperti sebelumnya. Selamat ulang tahun adikku sayang.
Rika berhenti sejenak, keningnya mengernyit karena tidak percaya dengan kalimat yang dibacanya barusan.
Iko, maafkan kakakmu yang nggak bisa menjagamu seperti kakak-kakak lainnya, yang nggak bisa melindungimu, yang nggak pernah ada untuk kamu.
Mata Rika terasa panas membaca kalimat di paragraf kedua, sejurus kemudian air berwarna bening mengucur menjalani pipinya.
Jangan menangis. Kakak tau saat kamu membaca bagian ini kamu pasti menangis. Tersenyumlah. Kakak senang akhirnya kamu tau siapa orang bernama Riki sebenarnya. Sekarang kamu tau Riki yang dahulu adalah orang miskin yang selalu kamu hindari adalah kakak kamu. Kakak senang.
Semoga kamu suka hadiah dari kakak, sepasang sepatu kaca mirip punya Cinderella yang dulu pernah kamu minta saat umur kamu lima tahun. Kamu masih inget nggak? Saat itu kamu mintanya sambil nangis pas ayah dan mama bertengkar. Maaf baru sekarang kakak bisa memberi kamu hadiah untuk ulang tahunmu, kamu tau kan kakak bukanlah seorang yang mampu.
Rika menangis semakin kencang, surat ini berhasil memanggil kenangan masa kecilnya yang sudah jauh dia lupakan. Dia akhirnya mengingat bahwa dia mempunyai seorang kakak. Kakak yang telah lama dia lupakan karena ayah tirinya memberikan semua apa yang dia mau. Sehingga dia tidak butuh sosok saudara untuk mengisi hidupnya.
Rika menyadari kebodohannya baru menyadari bahwa Riki adalah kakak kandungnya sendiri. Dia amat sangat menyesali perbuatannya malam itu, saat dia mengusir Riki dari rumahnya ketika dia memberikan kado untuk ulang tahunnya.
Jangan menangis Iko, kamu udah gede. Sekarang kamu bisa melihat warna dunia lagi, bukan hitam yang dulu selalu kamu takutkan saat gelap. Percayalah, hidup ini sangat berwarna ketika kamu mensyukuri apa yang telah kamu punya dan mencoba menerima kekurangan orang lain.
Kakak sayang kamu. Setelah membaca ini, kakak mohon, jangan mencari kakak ya. Kakak malu, udah miskin, buta lagi. Kakak sadar, kakak bukanlah orang yang bisa kamu bangga-banggain ke orang lain.
Sekali lagi, selamat ulang tahun ya, Iko, adikku sayang. Jalani kehidupan kamu lebih baik lagi, dan carilah laki-laki yang bisa menjaga, menghargai, dan menyayangi kamu untuk menemani hidup kamu. Kakak bahagia sekaligus lega telah memberikan apa yang kamu ingin dan kamu butuh pada ulang tahunmu. Sepasang sepatu dan sepasang pengelihatan agar kamu secantik Cinderella.
Kakak sayang kamu.
Riki Putra Narendra.
Nama yang tertulis dalam surat itu membuat Rika menangis meraung-raung memukul kasur tempat tidurnya. Benar, Riki adalah kakak kandungnya. Nama kecil Rika adalah Rika Putri Narendra, seperti nama panjang Riki, sebelum diganti oleh ayah tirinya menjadi Rika Putri Anggan.
Rika langsung menelpon mamanya untuk segera ke rumah sakit sekarang juga dan mencari Riki yang kini entah berada di mana.
Maafin adek, kakak Iki… Maafin adek. Dengan penuh air mata Rika berdoa dalam hati agar segera bertemu kakaknya.
Adek pengin kakak meluk Iko sekarang juga, adek kangen kakak, jerit Rika dalam hati.
Mamanya akhirnya datang dan ikut menangis saat Rika sudah mengetahui kebenaran dari semua ini. Mereka berdua langsung meninggalkan rumah sakit untuk mencari Riki.
***
Tok…, tok…, tok…
Pintu sebuah kamar kos terpencil di daerah blok M diketuk oleh lengan dengan penuh rasa rindu dan bersalah.
“Siapa?” tanya orang di dalamnya. Tiba-tiba terdengar suara tongkat jatuh ke lantai.
Rika dan mamanya saling memandang heran mengira-ngira apa yang terjadi. Lalu, sepuluh detik kemudian seorang laki-laki berkaca mata hitam membuka pintunya.
“Kakak…,” ucap Rika tak percaya dan langsung memeluk orang berkaca mata hitam itu.
Laki-laki itu adalah Riki.
“Maafin aku kak…,” ucap Rika yang langsung menangis tersedu.
Riki hanya berdiri mematung dipeluk oleh Rika. Mamanya pun menjatuhkan tas Gucci-nya dan ikut memeluk Riki. Dia tidak menyangka kedatangan mereka.
“Maafkan mamih juga, nak.”
Tubuh Riki bergetar dalam pelukan mereka. Dia menangis, tetapi hanya bisu yang dikeluarkan matanya. Dia menikmati kebahagiaan yang sejak dulu dia impikan ini tanpa air mata.
“…, kalian kenapa ke sini?” tanya Riki dengan suara terbata-bata.
Rika mencium tangan Riki. “Aku pengin kakak nemenin adek dan kakak nggak boleh ke mana-mana lagi.”
Kedua lengan Riki yang menggantung di udara kini memeluk erat tubuh Rika. “Kamu emang nggak malu punya seorang kakak yang buta? Yang cacat?”
Rika merajuk. “Jangan ngomong gitu! Kakak begini kan demi aku. Semua ini nggak ada harganya dibanding rasa malu yang aku tanggung. Aku nggak peduli. Sekarang kakak bisa jagain adek secara langsung. Supaya nggak ada cowok yang gangguin adek.”
Rika melepas kaca mata yang dikenakan kakaknya. Kedua mata itu terpejam. Rika menangis dan memeluk kakaknya lagi, kemudian dia mengecup lembut kedua kelopak mata Riki.
“Terima kasih untuk semua ini kak. Aku bersyukur punya kakak yang sayang banget sama aku, meskipun aku selalu berbuat jahat.”
“Tanpa kamu meminta maaf pun, kakak maafin kamu, Iko,” ujar Riki tulus.
Mamanya terharu melihat kedua anaknya bersatu kembali. Rasa bersalah dan sesalnya kini berkurang meskipun masih ada. Dia meminta maaf dengan dirinya sendiri di dalam hati. Dia bertekad akan menebus kesalahannya.
Senyum Riki mengembang, dia merasa bahagia sekali. Meskipun dia tidak lagi dapat melihat dunia lewat mata. Dia tetap bisa menyakiskan warna-warni dunia lewat hati, dan senyum adiknya tanpa perlu membuka mata.
Rika memasangkan kaca mata hitam ke mata Riki. “Kamu lagi pake sepatu hadiah kakak ya?” tanya Riki.
“Loh, kok tau?”
Riki mendekatkan bibirnya ke telinga Rika. “Soalnya kakak liat kamu mirip Cinderella.”
***