Only know you love when you her it go.
Sepenggal kalimat dari lirik lagu Passenger – Let Her Go, itu terus terngiang-ngiang di telinga dan pikiranku beberapa hari ini. Secangkir kopi Aceh gayo yang kupesan sepuluh menit yang lalu dengan harapan dapat menyingkirkan penat di dalam kepalaku ternyata tidak dapat berbuat banyak selain hanya menyuguhkan rasa pahitnya. Aku dengan sengaja menikmatinya tanpa menaburkannya dengan gula supaya rasa kecewa yang kurasakan semakin pahit dan kentara.
Aku tidak hendak menanyakan bagaimana kabarmu. Aku pun sejujurnya tidak sedang merindukanmu.
Aku hanya sedang mengenang apa yang pernah terjadi.
***
“Hei, sudah menunggu lama? Maaf ya,” tanyamu yang tiba-tiba datang dan menepuk pundakku dari belakang, lalu menjatuhkan pantat pada sofa hijau tua di hadapanku. Aku sedang melamun, memperhatikan lalu lalang orang yang berjalan di Mal ini lewat dinding kaca tembus pandang Starbucks tempat kita berjanjian bertemu. Mungkin aku pun tidak sadar bahwa kau melintas di hadapanku.
“Lumayan, tapi tak apa. Aku sedang menunggu, bukan menghitung waktu,” jawabku singkat dan datar dengan posisi kepala menghadap kaca tembus pandang itu.
“Nel…” Kamu memanggilku dengan kepala menunduk, tidak berani menatap mataku secara langsung. Sejenak, lewat ekor mata, aku melihatmu yang cantik sekali malam ini dengan dress putih bermotif polkadot biru.
“Ya?” Aku merespon panggilanmu masih dengan posisi yang sama. Aku sebenarnya tidak ingin mengacuhkan kedatanganmu, tetapi rasa kecewa mulai mengakar lagi di hatiku bercampur dengan rasa cinta yang kini terancam akan kubunuh lagi.
Kamu menggigit bagian bawah bibirmu melihatku yang bersikap dingin. “Maafin aku ya. Aku tau pasti kamu marah kan?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaanmu. “Tanpa kamu bertanya pun, kamu sudah tau jawabannya.”
“Tapi kamu maafin aku kan?” tanyamu sekali lagi dengan nada bicara sedikit bergetar. Kini aku memandang wajahmu dan menemukan ekspresi rasa bersalah di sana. Kamu menjentik-jentikkan jarimu dan menggoyangkan kedua jenjang kakimu yang mulus. Kamu tidak dapat menyembunyikan kegelisahanmu.
Lagi-lagi aku tersenyum mendengar pertanyaanmu, lalu menjawab dengan santai, “Bagian mana yang terdapat aku tidak memaafkanmu?”
“Nel, aku..–“
“Bagian mana yang terdapat aku tidak mengalah?” Aku dengan segera memotong penyangkalanmu.
Kamu menutup wajah yang mulai memerah dengan kedua tangan. Sungguh, aku benci sekali dengan keadaan ini.
“Sebentar, aku pesan minuman favoritmu dulu ya.” Langsung saja aku beranjak dari sofa dan berjalan ke kasir untuk membawakanmu Hazelnut Signature Chocolate. Kamu hanya mengangguk menurut.
Sambil menunggu pesanan tersaji, aku berdiri dan membongkar isi kepala. Mengatur tiap kata yang harus aku ucapkan. Pusing sekali, kau tau? Ini lebih memusingkan ketimbang aku harus menghitung rumus algoritma atau menyelesaikan delapan puluh soal fisika kuantum.
Tidak, aku tidak sedang berpikir bagaimana cara menyudutkanmu atau malah menyakitimu dengan pertanyaan yang begitu menohok. Memang benar kan? Selama ini aku selalu memahami, memaafkan, dan mengalah untukmu. Aku tidak memperhitungkannya bahkan hingga detik ini. Aku hanya berusaha menyadarkanmu tentang apa yang telah kau lakukan walau pun kau melakukannya dengan penuh kesadaran.
Selama ini aku mengikuti keinginanmu. Mulai dari bertukar kabar, menunggumu yang selalu sibuk dengan duniamu hingga kau menghilang beberapa waktu, sampai menyusun waktu yang singkat hanya untuk bertemu denganmu. Aku bersabar mengikutinya dengan sedikit harapan kau bisa menghargai semua itu. Hanya menghargainya. Itu saja cukup.
Kamu masih ingat kita yang pertama kali bertemu di perpustakaan itu? Kala itu pukul empat sore dan hujan deras. Kamu sedang mencari buku untuk referensi kuliahmu yang mendekati semester akhir untuk segera menyusun skripsi. Aku yang datang dengan tujuan mencari buku filsafat untuk tugas kuliahku langsung saja mengurungkan niat itu ketika tidak sengaja melihatmu dari arah parkiran.
Aku menghampiri dan berdiri di sampingmu sejenak di depan pintu perpustakaan yang sepi, hanya ada kita berdua. Aku memperhatikanmu yang basah kuyup dan menggigil kedinginan dengan terbalut kaos merah dan celana jeans hitam serta sepatuflat.
“Maaf, lo kayaknya kedinginan. Nih pake aja jaket gue, nanti lo masuk angin.”
“Nggak usah. Makasih. Bentar lagi juga hujannya reda. Hehehe.”
Kamu tersenyum dan menolaknya secara halus karena jelas aku orang asing yang tiba-tiba datang menawarkan jaket, tetapi aku sungguh tidak tega wajahmu yang memucat dengan tubuh menggigil. Aku tidak saja menyerah dengan penolakan sederhana itu.
“Sudah, pake aja nih jaket. Gue tau lo kedinginan banget. Nggak usah mikir gue bakal ngelakuin hal jahat sama lo. Gue cuma nawarin kebaikan yang memang seharusnya enggak lo tolak. Mending mana, lo ngegunain jaket gue buat sementara, atau lo sakit berhari-hari? Hehehe.”
Kamu memandangku sejenak, seperti menimang-nimang keputusan. Namun akhirnya kamu menerima jaket varsity berwarna biru navy-ku dengan senyum kikuk, kemudian menggunakannya.
“Makasih ya…”
Setelah kamu mengenakan jaketku, tanpa banyak bicara aku langsung berinisiatif untuk membelikanmu teh manis panas agar kepalamu tidak pusing.
Setelah hampir sepuluh menit aku berbasah diri mencari warung yang menyediakan teh manis panas, aku menghampirimu yang sedang menatap lurus ke arah langit yang mulai menggelap. Tak ada senja yang indah hari itu. Hanya pemandangan hujan deras yang mengguyur jalanan yang sedikit demi sedikit disesaki pengendara bermotor.
Aku memanggilmu dengan kalimat “Hei…” Dan kamu menengok ke arahku dengan hidung yang membiru. Sontak aku panilk dan langsung menyerahkan teh panas yang terbungkus plastik bening sebelum kamu jatuh pingsan. Kamu tadinya tampak ragu untuk menerimanya, tapi aku menunjukkan wajah meyakinkan bahwa tidak ada obat bius atau racun tikus yang kutaburkan di teh itu.
Dan bodohnya, aku lupa meminta sedotan untuk mempermudah kamu meminumnya. Alhasil sebelum kamu menerimanya, dengan terlebih dahulu aku memencet ujung plastik lalu menariknya sehingga bentuk plastik itu sedikit memanjang dan lancip. Kemudian aku memberikan teh itu dan memberi tau cara menikmatinya, yaitu dengan menggigit ujung plastiknya agar tercipta lubang kecil supaya air teh itu mengalir dari sela-sela lubang.
Kamu hanya tersenyum menerimanya dan menganggukkan kepala seraya berkata, “Terima kasih banyak ya. Maaf banget ngerepotin.”
“Iya, nama lo siapa?”
“Liana. Lo?”
“Nelsa.”
Kamu memiringkan kepala dengan wajah sedikit bingung. “Kok kayak nama cewek?”
“Nggak ngerti deh, nyokap gue yang ngasih. Gue sih biasa dipanggil Eza.”
Bibirmu yang pucat itu perlahan melengkung dan menciptakan senyuman yang manis sekali. “Salam kenal ya, Nel, ngomong-ngomong tehnya kemanisan” ucapmu pelan.
Setelah menghabiskan teh manis panas dengan perlahan-lahan. Kulihat wajahmu yang pucat berangsur memerah. Tampaknya aliran darah di syaraf-syaraf wajahmu mulai normal. Dalam keheningan yang terjadi cukup panjang, aku mulai banyak bertanya mengenai dirimu. Bertanya mengenai buku apa yang kau cari. Bertanya mengenai kamu kuliah di mana, semester berapa, dan di mana tempat tinggalmu.
Untuk ukuran orang yang baru dikenal, sepertinya aku pantas kamu laporkan kepada polisi karena mengajukan pertanyaan yang bersifat cukup pribadi. Tetapi kamu menjawabnya dengan ramah. Aku agak tergelitik untuk iseng menanyakan keberadaan kekasihmu, dan kamu menjawabnya dengan menggelengkan kepala serta cemberut, sebab aku meledekmu dengan kalimat. “Cantik-cantik jomblo.”
Hujan perlahan reda, sekali lagi aku mencoba hal yang kurang sopan untuk ukuran orang yang baru saja berkenalan, yaitu mengantarmu pulang. Awalnya kamu menolaknya dengan penuh rasa canggung dan beralasan bahwa kamu bisa pulang sendiri. Tetapi aku menjelaskan bawa aku tidak tega membayangkanmu pulang sendirian menaiki kendaraan umum dengan kondisi basah kuyup.
Akhirnya lewat perdebatan kecil yang cukup alot, kamu pun pasrah duduk di belakang kemudi jok motorku hingga sampai di kosmu. Di depan pintu kos, setelah kamu mengucapkan terima kasih, dengan tanpa rasa malu aku meminta nomor ponselmu dan kemudian mendapatkannya dengan mudah, meskipun kamu memberikannya dengan wajah curiga.
Perkenalan yang klise, namun sangat berarti. Bagiku tak ada pertemuan yang tidak disengaja, karena Tuhan pasti sengaja dan dalam keadaan sadar melangsungkan hal itu kepada kita berdua.
Setelah perkenalan itu, kita mulai bertukar kabar, bertukar buku bacaan, dan menciptakan pertemuan-pertemuan berikutnya dalam tenggang waktu satu bulan. Kuakui, tidak butuh waktu lama untukku merasa nyaman dan…, ya, jatuh cinta. Aku membiarkan perasaan itu tumbuh perlahan-lahan dengan harapan yang tidak terlalu rimbun dari hari ke hari. Aku sadar sekali kita baru saja berkenalan. Bukan hal yang baik bila perasaan itu bergebu-gebu.
Namun ketika perkenalan dan pendekatan kita memasukin akhir bulan kedua, aku mulai merasakan perubahan dalam dirimu yang mencolok. Kamu mulai sulit untuk memberi kabar. Aku mengirimkan pesan pagi, kau baru membalasnya ketika malam meninggi. Kamu pun jarang menanggapi ajakanku untuk bertemu. Atau saat aku sedang rindu ingin mendengar suaramu, ponselmu tidak bisa dihubungi. Kamu menghilang dalam beberapa waktu. Yang kutau dari alasanmu adalah kamu sibuk, terlalu sibuk.
Rasa cemas pun mulai mengakar di dalam hati dan pikiranku. Membuatku menerka-nerka apa yang sedang terjadi di dalam dirimu tiap kali kabarmu menghilang. Membuatku mengira kamu menjauhiku karena kamu sedang dekat dengan orang lain dalam keterangan sibuk akan kuliahmu. Hingga pada akhirnya rasa takut akan kehilangan hadir dan berdiri kokoh di dalam hatiku.
Aku mencoba bersabar dengan semua itu. Berusaha mengusir jauh-jauh pikiran negatif dan menelaah kesimpulan positif dengan kondisi di antara kita berdua kala itu. Berusaha memahami kesibukanmu yang membuat kita perlahan jauh. Pada setiap malam aku selalu berdoa semoga kamu baik-baik saja. Aku tidak ingin ada hal buruk yang terjadi pada dirimu.
Di dalam ketidakpastian tersebut, aku mulai menyadari posisiku di dalam kehidupanmu sebagai siapa. Aku benar-benar sadar seharusnya aku tidak berhak menuntut apa-apa darimu meski hanya berupa bertukar kabar atau perhatian kecil, yang sebenarnya aku rindukan. Ya, aku begitu merindukanmu. Sangat merindukanmu.
“Nelza…” Suara lirihmu perlahan menyadarkan lamunanku.
“Ya?” Aku mengalikan fokus pandanganku yang kosong dari gelas plastik Hazelnut Signature Chocolate milikmu. Tiba-tiba saja aku mengembuskan napas berat mengingat keputusan yang sudah kutetapkan pada pertemuan ini.
“Kamu kenapa?” tanyamu dengan wajah bingung.
Aku mengusap wajah dengan sebelah tangan dan menyeruput coffe mocha yang teronggok sedari satu jam lalu dan belum kusentuh sekali pun.
“Aku rasa kita harus mengakhiri ini,” ucapku serius.
Ekspresimu yang sendu langsung berubah menjadi panik dengan kalimat yang baru saja kuucapkan. “Maksud kamu?”
“Aku rasa kita harus mengakhiri ini, Li,” aku memijat kening dengan sebelah tangan, “aku sadar sepertinya kita nggak bisa lebih dari teman ya.”
Setetes air mata tiba-tiba turun dari matamu, menuju pipi. Kamu langsung menghapusnya, dengan nada frustrasi kamu berkata, “Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.”
“Iya, menghentikan kedekatan kita, Li,” kataku lirih. Ada getir yang terselip di ujung lidah ketika mengatakannya.
“Ta…, tapi, kenapa?” Kamu menggelengkan kepala seolah menutut alasan yang masuk akal.
Aku mencoba mengatur nada bicara karena emosiku mulai naik turun agar tidak menyakitimu. Dengan lirih aku berkata, “Aku mencintaimu, Li. Dan sepertinya perasaan itu tidak tepat. Aku salah menilai kedekatan kita selama ini, tapi perasaan itu terlanjut tumbuh perlahan dan membesar hingga detik ini kita bertemu. Aku tidak dapat menyembunyikannya lagi.”
Hening. Kamu mendengar pengakuanku dan bergeming.
“Aku rasa kamu nggak merasakan hal yang sama ya,” lanjutku dengan menundukkan kepala. Aku mulai merasakan nyeri yang teramat sangat di sekujur tubuhku. Lemas sekali. Oh, inikah rasanya patah hati?
Tidak ada suara yang keluar dari pita suaramu. Bibirmu terangkat setengah, tapi menggantung dan kelu. Kedua matamu memejam beberapa detik. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang kamu pikirkan.
Aku mengangkat kepalaku, lalu mengumpulkan kekuatan untuk meraih tas selempang yang terbaring di samping bawah sofa untuk beranjak pergi. Aku memandangmu sekilas yang masih bisu. Kamu hanya memandangku dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan. Wajahmu merah padam, seperti menahan air mata yang sudah di ujung tembok pertahanannya.
“Baiklah kalau begitu, Li. Memang tak ada lagi yang harus diteruskan dalam kedekatan kita,” aku memaksakan senyum untukmu, “terima kasih atas segalanya, untuk semua pertemuan, semua perhatian, dan semua waktu yang kita lalui berdua kemarin. Maafkan atas keegoisanku. Aku mencintaimu.”
Kamu tetap diam. Aku tidak berharap kamu menahanku seperti di adegan-adegan film. Tetapi aku berharap seandainya saja kamu mengatakan sepatah kata saja untuk sebuah kejelasan pada akhir pertemuan kita ini.
Dan, kamu tidak melakukannya.
Akhirnya aku memutuskan untuk beranjak dari posisi dudukku dan melangkah pergi meninggalkanmu tanpa berkata apa-apa lagi. Pada langkah pertama, kedua kakiku terasa sangat berat sekali, hingga pada langkah kedua dan berikutnya aku meneruskan, rasa nyeri di dalam hatiku terasa semakin hebat. Aku tetap memaksakan diri menjaga keseimbangan tubuhku agar tidak terjatuh atau yang lebih buruk…, melangkah mundur.
Saat keluar dari pintu Starbucks, entah mengapa aku ingin sekali melirik ke kaca tembus pandang untuk melihat keberadaanmu untuk terakhir kalinya. Dadaku terasa sangat sesak ketika ada seorang pria menghampirimu, lalu duduk di sofa tempatku menunggumu tadi. Aku dapat melihat kalian berdua meskipun tidak terlalu jelas dari langkahku yang kian menjauh. Pria itu mengucapkan kalimat yang-entah-apa-itu, kemudian menggenggam tanganmu seraya tersenyum.
Pria itu, pria itu… Dia yang tak sengaja kulihat dua hari lalu turun dari mobil Swift merah di depan kosmu dan berjalan masuk sambil membawa sebuah kado berbentuk persegi yang cukup besar. Kutebak isi kado itu adalah sebuah tas merah muda merk Zalora yang telah lama kamu inginkan. Kamu pernah menceritakannya, dan menabung untuk memiliki tas itu.
Kini aku memahaminya…
Terima kasih, selamat tinggal, Liana, ucapku dalam hati dengan senyum dan setitik air mata yang jatuh, menyatu dalam langkah dan perasaan yang hancur lebur.
Let her go, Eza.