Kamis, 28 Agustus 2014

let her go

Only know you love when you her it go.
Sepenggal kalimat dari lirik lagu Passenger – Let Her Go, itu terus terngiang-ngiang di telinga dan pikiranku beberapa hari ini. Secangkir kopi Aceh gayo yang kupesan sepuluh menit yang lalu dengan harapan dapat menyingkirkan penat di dalam kepalaku ternyata tidak dapat berbuat banyak selain hanya menyuguhkan rasa pahitnya. Aku dengan sengaja menikmatinya tanpa menaburkannya dengan gula supaya rasa kecewa yang kurasakan semakin pahit dan kentara.
Aku tidak hendak menanyakan bagaimana kabarmu. Aku pun sejujurnya tidak sedang merindukanmu.
Aku hanya sedang mengenang apa yang pernah terjadi.
***
“Hei, sudah menunggu lama? Maaf ya,” tanyamu yang tiba-tiba datang dan menepuk pundakku dari belakang, lalu menjatuhkan pantat pada sofa hijau tua di hadapanku. Aku sedang melamun, memperhatikan lalu lalang orang yang berjalan di Mal ini lewat dinding kaca tembus pandang Starbucks tempat kita berjanjian bertemu. Mungkin aku pun tidak sadar bahwa kau melintas di hadapanku.
“Lumayan, tapi tak apa. Aku sedang menunggu, bukan menghitung waktu,” jawabku singkat dan datar dengan posisi kepala menghadap kaca tembus pandang itu.
“Nel…” Kamu memanggilku dengan kepala menunduk, tidak berani menatap mataku secara langsung. Sejenak, lewat ekor mata, aku melihatmu yang cantik sekali malam ini dengan dress putih bermotif polkadot biru.
“Ya?” Aku merespon panggilanmu masih dengan posisi yang sama. Aku sebenarnya tidak ingin mengacuhkan kedatanganmu, tetapi rasa kecewa mulai mengakar lagi di hatiku bercampur dengan rasa cinta yang kini terancam akan kubunuh lagi.
Kamu menggigit bagian bawah bibirmu melihatku yang bersikap dingin. “Maafin aku ya. Aku tau pasti kamu marah kan?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaanmu. “Tanpa kamu bertanya pun, kamu sudah tau jawabannya.”
“Tapi kamu maafin aku kan?” tanyamu sekali lagi dengan nada bicara sedikit bergetar. Kini aku memandang wajahmu dan menemukan ekspresi rasa bersalah di sana. Kamu menjentik-jentikkan jarimu dan menggoyangkan kedua jenjang kakimu yang mulus. Kamu tidak dapat menyembunyikan kegelisahanmu.
Lagi-lagi aku tersenyum mendengar pertanyaanmu, lalu menjawab dengan santai, “Bagian mana yang terdapat aku tidak memaafkanmu?”
“Nel, aku..–“
“Bagian mana yang terdapat aku tidak mengalah?” Aku dengan segera memotong penyangkalanmu.
Kamu menutup wajah yang mulai memerah dengan kedua tangan. Sungguh, aku benci sekali dengan keadaan ini.
“Sebentar, aku pesan minuman favoritmu dulu ya.” Langsung saja aku beranjak dari sofa dan berjalan ke kasir untuk membawakanmu Hazelnut Signature Chocolate. Kamu hanya mengangguk menurut.
Sambil menunggu pesanan tersaji, aku berdiri dan membongkar isi kepala. Mengatur tiap kata yang harus aku ucapkan. Pusing sekali, kau tau? Ini lebih memusingkan ketimbang aku harus menghitung rumus algoritma atau menyelesaikan delapan puluh soal fisika kuantum.
Tidak, aku tidak sedang berpikir bagaimana cara menyudutkanmu atau malah menyakitimu dengan pertanyaan yang begitu menohok. Memang benar kan? Selama ini aku selalu memahami, memaafkan, dan mengalah untukmu. Aku tidak memperhitungkannya bahkan hingga detik ini. Aku hanya berusaha menyadarkanmu tentang apa yang telah kau lakukan walau pun kau melakukannya dengan penuh kesadaran.
Selama ini aku mengikuti keinginanmu. Mulai dari bertukar kabar, menunggumu yang selalu sibuk dengan duniamu hingga kau menghilang beberapa waktu, sampai menyusun waktu yang singkat hanya untuk bertemu denganmu. Aku bersabar mengikutinya dengan sedikit harapan kau bisa menghargai semua itu. Hanya menghargainya. Itu saja cukup.
Kamu masih ingat kita yang pertama kali bertemu di perpustakaan itu? Kala itu pukul empat sore dan hujan deras. Kamu sedang mencari buku untuk referensi kuliahmu yang mendekati semester akhir untuk segera menyusun skripsi. Aku yang datang dengan tujuan mencari buku filsafat untuk tugas kuliahku langsung saja mengurungkan niat itu ketika tidak sengaja melihatmu dari arah parkiran.
Aku menghampiri dan berdiri di sampingmu sejenak di depan pintu perpustakaan yang sepi, hanya ada kita berdua. Aku memperhatikanmu yang basah kuyup dan menggigil kedinginan dengan terbalut kaos merah dan celana jeans hitam serta sepatuflat.
“Maaf, lo kayaknya kedinginan. Nih pake aja jaket gue, nanti lo masuk angin.”
“Nggak usah. Makasih. Bentar lagi juga hujannya reda. Hehehe.”
Kamu tersenyum dan menolaknya secara halus karena jelas aku orang asing yang tiba-tiba datang menawarkan jaket, tetapi aku sungguh tidak tega wajahmu yang memucat dengan tubuh menggigil. Aku tidak saja menyerah dengan penolakan sederhana itu.
“Sudah, pake aja nih jaket. Gue tau lo kedinginan banget. Nggak usah mikir gue bakal ngelakuin hal jahat sama lo. Gue cuma nawarin kebaikan yang memang seharusnya enggak lo tolak. Mending mana, lo ngegunain jaket gue buat sementara, atau lo sakit berhari-hari? Hehehe.”
Kamu memandangku sejenak, seperti menimang-nimang keputusan. Namun akhirnya kamu menerima jaket varsity berwarna biru navy-ku dengan senyum kikuk, kemudian menggunakannya.
“Makasih ya…”
Setelah kamu mengenakan jaketku, tanpa banyak bicara aku langsung berinisiatif untuk membelikanmu teh manis panas agar kepalamu tidak pusing.
Setelah hampir sepuluh menit aku berbasah diri mencari warung yang menyediakan teh manis panas, aku menghampirimu yang sedang menatap lurus ke arah langit yang mulai menggelap. Tak ada senja yang indah hari itu. Hanya pemandangan hujan deras yang mengguyur jalanan yang sedikit demi sedikit disesaki pengendara bermotor.
Aku memanggilmu dengan kalimat “Hei…” Dan kamu menengok ke arahku dengan hidung yang membiru. Sontak aku panilk dan langsung menyerahkan teh panas yang terbungkus plastik bening sebelum kamu jatuh pingsan. Kamu tadinya tampak ragu untuk menerimanya, tapi aku menunjukkan wajah meyakinkan bahwa tidak ada obat bius atau racun tikus yang kutaburkan di teh itu.
Dan bodohnya, aku lupa meminta sedotan untuk mempermudah kamu meminumnya. Alhasil sebelum kamu menerimanya, dengan terlebih dahulu aku memencet ujung plastik lalu menariknya sehingga bentuk plastik itu sedikit memanjang dan lancip. Kemudian aku memberikan teh itu dan memberi tau cara menikmatinya, yaitu dengan menggigit ujung plastiknya agar tercipta lubang kecil supaya air teh itu mengalir dari sela-sela lubang.
Kamu hanya tersenyum menerimanya dan menganggukkan kepala seraya berkata, “Terima kasih banyak ya. Maaf banget ngerepotin.”
“Iya, nama lo siapa?”
“Liana. Lo?”
“Nelsa.”
Kamu memiringkan kepala dengan wajah sedikit bingung. “Kok kayak nama cewek?”
“Nggak ngerti deh, nyokap gue yang ngasih. Gue sih biasa dipanggil Eza.”
Bibirmu yang pucat itu perlahan melengkung dan menciptakan senyuman yang manis sekali. “Salam kenal ya, Nel, ngomong-ngomong tehnya kemanisan” ucapmu pelan.
Setelah menghabiskan teh manis panas dengan perlahan-lahan. Kulihat wajahmu yang pucat berangsur memerah. Tampaknya aliran darah di syaraf-syaraf wajahmu mulai normal. Dalam keheningan yang terjadi cukup panjang, aku mulai banyak bertanya mengenai dirimu. Bertanya mengenai buku apa yang kau cari. Bertanya mengenai kamu kuliah di mana, semester berapa, dan di mana tempat tinggalmu.
Untuk ukuran orang yang baru dikenal, sepertinya aku pantas kamu laporkan kepada polisi karena mengajukan pertanyaan yang bersifat cukup pribadi. Tetapi kamu menjawabnya dengan ramah. Aku agak tergelitik untuk iseng menanyakan keberadaan kekasihmu, dan kamu menjawabnya dengan menggelengkan kepala serta cemberut, sebab aku meledekmu dengan kalimat. “Cantik-cantik jomblo.”
Hujan perlahan reda, sekali lagi aku mencoba hal yang kurang sopan untuk ukuran orang yang baru saja berkenalan, yaitu mengantarmu pulang. Awalnya kamu menolaknya dengan penuh rasa canggung dan beralasan bahwa kamu bisa pulang sendiri. Tetapi aku menjelaskan bawa aku tidak tega membayangkanmu pulang sendirian menaiki kendaraan umum dengan kondisi basah kuyup.
Akhirnya lewat perdebatan kecil yang cukup alot, kamu pun pasrah duduk di belakang kemudi jok motorku hingga sampai di kosmu. Di depan pintu kos, setelah kamu mengucapkan terima kasih, dengan tanpa rasa malu aku meminta nomor ponselmu dan kemudian mendapatkannya dengan mudah, meskipun kamu memberikannya dengan wajah curiga.
Perkenalan yang klise, namun sangat berarti. Bagiku tak ada pertemuan yang tidak disengaja, karena Tuhan pasti sengaja dan dalam keadaan sadar melangsungkan hal itu kepada kita berdua.
Setelah perkenalan itu, kita mulai bertukar kabar, bertukar buku bacaan, dan menciptakan pertemuan-pertemuan berikutnya dalam tenggang waktu satu bulan. Kuakui, tidak butuh waktu lama untukku merasa nyaman dan…, ya, jatuh cinta. Aku membiarkan perasaan itu tumbuh perlahan-lahan dengan harapan yang tidak terlalu rimbun dari hari ke hari. Aku sadar sekali kita baru saja berkenalan. Bukan hal yang baik bila perasaan itu bergebu-gebu.
Namun ketika perkenalan dan pendekatan kita memasukin akhir bulan kedua, aku mulai merasakan perubahan dalam dirimu yang mencolok. Kamu mulai sulit untuk memberi kabar. Aku mengirimkan pesan pagi, kau baru membalasnya ketika malam meninggi. Kamu pun jarang menanggapi ajakanku untuk bertemu. Atau saat aku sedang rindu ingin mendengar suaramu, ponselmu tidak bisa dihubungi. Kamu menghilang dalam beberapa waktu. Yang kutau dari alasanmu adalah kamu sibuk, terlalu sibuk.
Rasa cemas pun mulai mengakar di dalam hati dan pikiranku. Membuatku menerka-nerka apa yang sedang terjadi di dalam dirimu tiap kali kabarmu menghilang. Membuatku mengira kamu menjauhiku karena kamu sedang dekat dengan orang lain dalam keterangan sibuk akan kuliahmu. Hingga pada akhirnya rasa takut akan kehilangan hadir dan berdiri kokoh di dalam hatiku.
Aku mencoba bersabar dengan semua itu. Berusaha mengusir jauh-jauh pikiran negatif dan menelaah kesimpulan positif dengan kondisi di antara kita berdua kala itu. Berusaha memahami kesibukanmu yang membuat kita perlahan jauh. Pada setiap malam aku selalu berdoa semoga kamu baik-baik saja. Aku tidak ingin ada hal buruk yang terjadi pada dirimu.
Di dalam ketidakpastian tersebut, aku mulai menyadari posisiku di dalam kehidupanmu sebagai siapa. Aku benar-benar sadar seharusnya aku tidak berhak menuntut apa-apa darimu meski hanya berupa bertukar kabar atau perhatian kecil, yang sebenarnya aku rindukan. Ya, aku begitu merindukanmu. Sangat merindukanmu.
“Nelza…” Suara lirihmu perlahan menyadarkan lamunanku.
“Ya?” Aku mengalikan fokus pandanganku yang kosong dari gelas plastik Hazelnut Signature Chocolate milikmu. Tiba-tiba saja aku mengembuskan napas berat mengingat keputusan yang sudah kutetapkan pada pertemuan ini.
“Kamu kenapa?” tanyamu dengan wajah bingung.
Aku mengusap wajah dengan sebelah tangan dan menyeruput coffe mocha yang teronggok sedari satu jam lalu dan belum kusentuh sekali pun.
“Aku rasa kita harus mengakhiri ini,” ucapku serius.
Ekspresimu yang sendu langsung berubah menjadi panik dengan kalimat yang baru saja kuucapkan. “Maksud kamu?”
“Aku rasa kita harus mengakhiri ini, Li,” aku memijat kening dengan sebelah tangan, “aku sadar sepertinya kita nggak bisa lebih dari teman ya.”
Setetes air mata tiba-tiba turun dari matamu, menuju pipi. Kamu langsung menghapusnya, dengan nada frustrasi kamu berkata, “Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.”
“Iya, menghentikan kedekatan kita, Li,” kataku lirih. Ada getir yang terselip di ujung lidah ketika mengatakannya.
“Ta…, tapi, kenapa?” Kamu menggelengkan kepala seolah menutut alasan yang masuk akal.
Aku mencoba mengatur nada bicara karena emosiku mulai naik turun agar tidak menyakitimu. Dengan lirih aku berkata, “Aku mencintaimu, Li. Dan sepertinya perasaan itu tidak tepat. Aku salah menilai kedekatan kita selama ini, tapi perasaan itu terlanjut tumbuh perlahan dan membesar hingga detik ini kita bertemu. Aku tidak dapat menyembunyikannya lagi.”
Hening. Kamu mendengar pengakuanku dan bergeming.
“Aku rasa kamu nggak merasakan hal yang sama ya,” lanjutku dengan menundukkan kepala. Aku mulai merasakan nyeri yang teramat sangat di sekujur tubuhku. Lemas sekali. Oh, inikah rasanya patah hati?
Tidak ada suara yang keluar dari pita suaramu. Bibirmu terangkat setengah, tapi menggantung dan kelu. Kedua matamu memejam beberapa detik. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang kamu pikirkan.
Aku mengangkat kepalaku, lalu mengumpulkan kekuatan untuk meraih tas selempang yang terbaring di samping bawah sofa untuk beranjak pergi. Aku memandangmu sekilas yang masih bisu. Kamu hanya memandangku dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan. Wajahmu merah padam, seperti menahan air mata yang sudah di ujung tembok pertahanannya.
“Baiklah kalau begitu, Li. Memang tak ada lagi yang harus diteruskan dalam kedekatan kita,” aku memaksakan senyum untukmu, “terima kasih atas segalanya, untuk semua pertemuan, semua perhatian, dan semua waktu yang kita lalui berdua kemarin. Maafkan atas keegoisanku. Aku mencintaimu.”
Kamu tetap diam. Aku tidak berharap kamu menahanku seperti di adegan-adegan film. Tetapi aku berharap seandainya saja kamu mengatakan sepatah kata saja untuk sebuah kejelasan pada akhir pertemuan kita ini.
Dan, kamu tidak melakukannya.
Akhirnya aku memutuskan untuk beranjak dari posisi dudukku dan melangkah pergi meninggalkanmu tanpa berkata apa-apa lagi. Pada langkah pertama, kedua kakiku terasa sangat berat sekali, hingga pada langkah kedua dan berikutnya aku meneruskan, rasa nyeri di dalam hatiku terasa semakin hebat. Aku tetap memaksakan diri menjaga keseimbangan tubuhku agar tidak terjatuh atau yang lebih buruk…, melangkah mundur.
Saat keluar dari pintu Starbucks, entah mengapa aku ingin sekali melirik ke kaca tembus pandang untuk melihat keberadaanmu untuk terakhir kalinya. Dadaku terasa sangat sesak ketika ada seorang pria menghampirimu, lalu duduk di sofa tempatku menunggumu tadi. Aku dapat melihat kalian berdua meskipun tidak terlalu jelas dari langkahku yang kian menjauh. Pria itu mengucapkan kalimat yang-entah-apa-itu, kemudian menggenggam tanganmu seraya tersenyum.
Pria itu, pria itu… Dia yang tak sengaja kulihat dua hari lalu turun dari mobil Swift merah di depan kosmu dan berjalan masuk sambil membawa sebuah kado berbentuk persegi yang cukup besar. Kutebak isi kado itu adalah sebuah tas merah muda merk Zalora yang telah lama kamu inginkan. Kamu pernah menceritakannya, dan menabung untuk memiliki tas itu.
Kini aku memahaminya…
Terima kasih, selamat tinggal, Liana, ucapku dalam hati dengan senyum dan setitik air mata yang jatuh, menyatu dalam langkah dan perasaan yang hancur lebur.
Let her go, Eza.

Senin, 21 April 2014

Sepatu kaca untuk ulang tahunmu

*Sebelum membaca ini, ada baiknya sambil dengerin instrumen piano lagu Yiruma – River Flows In You.*

“Ngapain lo ke sini lagi?!” Bentak Rika pada seorang cowok yang mendatangi rumahnya malam-malam buta. Cowok itu beberapa hari ini sering digosipkan oleh teman-teman kampusnya sedang menyukainya, terlebih nama dan wajah cowok itu mirip dengannya. Bahkan beberapa teman-teman Rika meledeknya, jika ada lawan jenis yang bernama dan berwajah mirip itu tandanya jodoh.

“Gue cuma mau kasih ini buat ulang tahun lo tanggal 12 Mei, Ka,” ucap cowok itu dan menyerahkan sebuah kotak putih yang dihiasi pita berwarna biru sambil menundukkan kepala.

Rika memandang sinis dan mutar bola matanya. “Yahelah, masih seminggu lagi kali. Elo tuh, Ki, daripada ngasih kado buat gue, mending uangnya buat makan atau bayar kontrakan. Dasar orang miskin! Sok-sok-an ngasih kado. Paling juga barang murah!” ejek Rika.

Cowok yang bernama Riki itu tersentak mendengar ucapan Rika. Dia tau bahwa status sosialnya adalah orang kurang mampu, tapi tidak seharusnya dia dihina seperti itu. Perasaannya terluka sekali, namun dia tetap bersabar menghadapi Rika. Dia tau, Rika menjadi seperti ini karena lingkunganlah yang membentuk dirinya. Dan dari awal niatnya adalah memberi kado untuk ulang tahun Rika yang ke-21, meskipun dia tau nantinya Rika pasti akan menolaknya.

“Rika, ada tamu?” tanya seorang perempuan setengah berteriak dari dalam rumah. Dari suaranya, perempuan itu berumur sekitar empat puluh tahunan. “Disuruh masuk aja, nggak enak malam-malam gini ngobrol di luar,” lanjutnya.

“Enggak, cuma orang gak jelas, Mih. Ini lagi Rika usir,” ucap Rika malas tanpa memalingkan badannya ke dalam.

Tidak ada suara lagi.

“Udah deh, Ki. Pergi sana! Gue mau tidur, ngeganggu aja lo malam-malam gini!” usir Rika.

“Oke, selamat malam. Maaf gue udah ganggu,” pamit Riki, kemudian dia mulai beranjak pergi dan Rika pun menutup pintunya.

Saat Rika sudah menutup pintunya, diam-diam Riki menaruh kotak kado itu di depan pintu. Dia mengusap kado itu dengan penuh rasa bahagia bercampur kecewa. Riki berharap kado itu diambilnya keesokan hari.

***

“Eh, masa si Riki yang pernah kalian omongan itu semalam ke rumah gue,” ucap Rika membuka obrolan dengan teman-teman kampusnya; Revi, Sabrina, Nina, dan Feni. Di kantin saat jam istirahat.

“Serius lo? Ngapain?” tanya Sabrina penasaran.

Rika menghembuskan napasnya sejenak. “Dia ngasih kado ulang tahun gitu ke gue.”

“Terus lo terima?” Kali ini Revi yang bertanya.

“Enggak, gue usir aja. Abis malam-malam ke rumah gue, ngeganggu banget.”

Sambil memotong batagor di piringnya, Sabrina menatap iba. “Tapi nggak seharusnya lo ngelakuin itu kali, Rik. Hargain dikitlah, namanya juga orang ngasih hadiah buat ulang tahun.”

“Gue nggak sudi nerimanya, apalagi yang ngasih orang miskin,” ucap Rika ketus.

Keempat temannya menatap Rika dengan tatapan tidak suka.

“Gini loh, Rik. Gue tau lo emang paling anti sama cowok yang katakanlah orang miskin. Lo emang cantik, tapi menurut gue, elo udah keterlaluan. Nggak seharusnya lo ngelakuin itu,” ujar Revi.

Nina yang sedari tadi sibuk dengan nasi goreng yang dia makan angkat bicara. “Iyalah, menurut gue lo keterlaluan banget. Nih ya, dulu waktu gue pacaran sama si Roy, dia kan anak rantauan tuh, dia tinggal sendirian dan susah banget. Pas aniversarry setahun, dia ngasih gue kado cincin perak yang ada inisial namanya dia,” kenang Nina, lalu dia menghentikan makannya sejenak untuk memperlihatkan cincin dari mantan kekasihnya yang kini dijadikan kalung.

“Nih cincinnya. Saat dia ngasih ini, gue speechless banget. Gue tau harga cincin ini nggak murah. Kalo dihitung-hitung nih ya, harga cincin ini seharga biaya ngekosnya tiga bulan. Kalian tau kan ini artinya apa?”

Revi, Nina, dan Feni mengangguk. “Dia sayang banget sama lo,” sambar Revi mantap, lalu malah menggoda Nina. “Eh, masih nyimpen barang dari mantan nih yeee. Pantes lo belum bisa move on.”

Wajah Nina memerah menyadari perbuatannya sama saja dengan curhat. “Ih biarin, bodo. Rese lo, Rev,” ucap Nina bete.

“Ini tuh bukan perihal seberapa mahal nilai barangnya atau siapa yang ngasih, Rik. Tapi seberapa tulus seseorang itu memberikannya. Lo nggak tau kan perjuangan apa yang dilakuin Riki demi ngasih kado itu buat lo? Dan lo nggak tau kan gimana perasaan dia saat lo ngomong gitu?” tanya Nina.

Rika hanya terdiam dan merasa bersalah tentunya.

“Orang nggak akan bego buang-buang uangnya untuk ngasih sesuatu yang berharga buat orang lain kalo nggak ada tujuan yang jelas. Terlebih orang itu bukan orang yang punya banyak duit. Inget, Rik, jangan melihat harga barangnya atau siapa yang ngasih. Tapi liat ketulusan dia memberikan barang itu,” lanjut Nina menasihati Rika.

Rika kini merasa sangat bersalah. Benar yang dikatakan teman-temannya. Tidak seharusnya dia melakukan perbuatan sejahat itu, tapi semuanya sudah terlanjur. Rika membayangkan bagaimana jika dia berada di posisi Riki? Pasti sangat sakit hati.

Awalnya, Rika mengira bahwa Riki hanya akan mendekatinya, dan itu jelas membuat Rika merasa akan mempermalukan dirinya saja. Riki bukanlah levelnya.

***

Riki mengecek uangnya di mesin ATM dekat kampus. Sisa saldonya tinggal Rp.223.000. Dia menggunakan hampir separuh gajinya bulan ini untuk membeli kado ulang tahun Rika. Sepasang sepatu plastik sebening kaca merk terkenal seharga hampir tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, yang dia beli di sebuah mal besar di kawasan Jakarta pusat. Kini sepatu yang mirip dengan milik tokoh dongeng Cinderella itu entah bagaimana nasibnya.

Sesampainya di kos, dia mandi untuk menyegarkan diri dan berharap rasa kecewa di hatinya hilang meski sedikit saja. Terlebih dia sudah pasrah untuk makan esok hari. Dia harus lebih irit menggunakan sisa uangnya dan semoga ada temannya berbaik hati untuk meminjamkan uangnya. Dengan perasaan yang sangat kecewa, dia membuka dompetnya dan memperhatikan selembar foto yang membuatnya mengingat seorang anak kecil yang bermimpi menjadi Cinderella.

***

Tiiiiiiiiiinnn…

Suara klaskon nyaring terdengar tidak jauh dari gerbang kampus, diiringi dengan tabrakan hebat antara sebuah mobil Toyota Yaris biru dan Metromini.

Ciiiiitttt… Suara decitan ban yang tertarik pedal rem terkikis aspal dan disusul suara…

Braaakkkkkk! Tabrakan keras pun terjadi.

Sebuah kecelakaan maut menimpa Rika. Ya, dia yang mengemudikan Toyota Yaris biru itu.

“RIKA! RIKAAAA! KAMU NGGAK APA-APA KAN?!” Riki panik bukan kepalangan saat mengetahui mobil Rika yang tertabrak Metromini itu. Dia mencoba menyadarkan Rika yang bersimbah darah di pinggir jalan.

Riki menangis tak peduli tatapan orang di sekitarnya. Dia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang menjadi alasannya untuk hidup. Orang yang membuatnya tetap semangat meski dalam kesusahan, dan satu-satunya orang yang dimilikinya dalam hidup ini.

Tidak lama, sirine mobil ambulance terdengar nyaring saat mendekat, kemudian membawa tubuh Rika ke rumah sakit terdekat.

***

Riki duduk lesu di bangku yang terletak di depan ruang UGD. Bau obat yang cukup menusuk hidung membuat pikiranna semakin berkecamuk. Hatinya tertusuk-tusuk mengingat musibah yang menimpa Rika. Doa tak hentinya dia ucapkan untuk keselamatan gadis itu. Meskipun baru sekarang dia berani menunjukkan dirinya dalam kehidupan Rika.

Selama ini, Riki hanya memandang Rika dari kejauhan. Memperhatikan gadis itu dari kejauhan sejak lima tahun yang lalu tanpa berani sedikitpun menyentuh gadis itu. Dia malu. Dia adalah orang miskin, beda dengan Rika yang hidup di keluarga yang kaya raya.

Riki tinggal sendiri, ayahnya telah meninggal karena penyakit stroke dua tahun lalu. Dalam kehidupannya yang pas-pasan, Riki tetap berjuang. Demi sekolah dan kuliahnya, dia bekerja sambilan mulai dari menjadi kurir angkut barang, penjaga toko, hingga pramusaji. Semua dijalaninya demi bertahan hidup dan menjaga Rika dalam jarak yang dibuatnya.

Lamunan Riki terhenti saat pintu UGD berbunyi dan dokter yang menangani Rika keluar dari ruangan. Dia mengusap wajahnya yang terlihat kacau.

Riki menghampiri dokter, melirik nama dokter itu di pin jas putihnya lalu berkata, “Bagaimana keadaannya, Dokter Hanif? Dia nggak apa-apa kan?”

Dokter Hanif bemenggelengkan kepala. “Kondisinya sangat parah.” Riki terkesiap mendengar perkataan dokter itu.

“Dia selamat, tetapi–” Dokter Hanif menahan kalimatnya.

“Tetapi kenapa, dok? KENAPA?! JELASIN YANG JELAS!” bentak Riki tidak dapat menahan emosinya.

Dokter Hanif menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan keadaan Rika.

“Sabar dulu, Mas. Begini…” Dokter Hanif menghembuskan napasnya sejenak. “Dia kehilangan kedua pengelihatannya. Entah sementara atau permanen. Kecelakaan itu mengakibatkan benturan keras di bagian dahinya, sehingga kedua kornea matanya sobek karena trauma.”

Riki terduduk lemas mendengar penjelasan dokter Hanif. Rahangnya mengeras. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Rika. Andai saja dia bisa mencegah musibah sialan ini.

“Lalu apa yang bisa saya lakukan, Dok?” tanya Riki pasrah.

Mereka berdua berdiskusi dalam upaya menyelamatkan Rika. Sementara, di dalam ruang UGD, Rika mungkin belum menyadari kenyataan pahit yang akan dia hadapi setelah dia sadar.

***

“DINA! Selalu saja kamu tidak pernah merasa cukup dengan yang sudah aku berikan untuk keluarga ini!” bentak Pak Riza.

“YA JELASLAH! Kamu bekerja siang dan malam nggak nyukupin keluarga kita! Aku nggak mau hidup susah kayak gini!” Tidak kalah ibu Dina membentak suaminya.

“Saya menyesal telah menikah dengan kamu! Benar kata ibu dulu, saya nggak akan hidup cukup dan bahagia dengan kamu!”

Pak Riza tersentak mendengar istrinya berkata seperti itu. Dia mengepalkan tangannya.

“APA?! KAMU MAU MENAMPAR SAYA?! TAMPAR SAJA! Dengan menampar saya pun kamu nggak akan bikin kamu kaya!”

“Gaya hidup kamu yang membuat kita begini, Dina.”

“Jelas! Orang tua saya orang berada, kaya raya. Beda seperti kamu, miskin! Mulai saat ini, kita hidup masing-masing. Saya sudah tidak tahan. Saya pergi dari rumah ini!”

Sementara pertengkaran mereka berdua, dua anak kecil mengintip dari sela-sela pintu kamar mereka. Yang satu, perempuan berumur lima tahun, yang satu lagi laki-laki berumur tujuh tahun. Mereka meratap sedih melihat kedua orang tuanya bertengkar.

“Kakak, mama cama papa kenapa belantem lagi? Huuu…” Si perempuan menangis terisak.

“Nggak tauuu, sabar ya Iko. Kamu mau kakak kasih hadiah apa buat ulang tahun nanti?” tanya sang kakak dengan senyum kecilnya, berharap adiknya tidak menangis lagi.

“Cepatu kaca, yang milip punya Cindelella, kak Ikie,” pinta adiknya. Gigi putih susu yang berderet di di balik senyum kecil itu membuat si kakak mengusap pipinya.

“Iya, nanti kakak beliin. Kakak nabung dulu ya, sekarang kamu jangan nangis lagi.” Si kakak mengangguk menyanggupi permintaan adik.

Akhirnya si kakak menutup pintu kamarnya membiarkan orang tua mereka menyelesaikan pertengkarannya. Keduanya tertidur pulas dalam posisi berpelukan setelah lelah menangis. Hingga tanpa sadar, saat salah satunya terbangun, mereka sudah tidak lagi bersama.

***

Tiga jam kemudian, Dina, ibu Rika, tiba di ruangan ICU setelah terbang dari Pontianak mengurusi bisnisnya. Sesampainya di rumah sakit, dia syok mendengar penjelasan dokter Hanif bahwa putri kesayangannya kehilangan pengelihatannya. Dan dia juga merasa penasaran dengan orang yang membawa anaknya ke rumah sakit.

“Siapa orang yang membawa anak saya ke sini, Dok?”

“Entah, saya lupa menanyakan nama laki-laki itu. Saat itu dia terlihat kacau sekali saat mendengar kabar yang saya sampaikan kepada ibu.”

“Apakah dia yang menyebabkan putri saya menjadi begini?” tanya ibu Dina menyelidiki.

“Sepertinya bukan, dia terlihat orang yang baik. Malah dia menanyakan saya bagaimana cara mengembalikan pengelihatan anak ibu.”

Ibu Dina heran mendengar ucapan dokter Hanif. Dia baru saja menanyakan bagaimana cara menolong pengelihatan Rika. Dia menebak-nebak siapa laki-laki yang membawa anaknya dan ingin menolongnya.

***

Keesokan sorenya, jemari tangan Rika bergerak. “Syukurlah, nak. Kamu cepat siuman,” ucap ibu Dina sambil menggenggam tangan Rika.

“Mih, mamihhh…” ucap Rika serak.

“Iya, sayang. Mamih di sini, di samping kamu.”

Rika berusaha perlahan-lahan membangunkan tubuhnya, namun mamanya mencegah karena kondisi tubuh Rika masih terlalu. Rika merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit. Terlebih matanya yang terasa agak perih. Kedua tangannya menyentuh kepalanya, merasakan ada kain halus yang melingkari kepalanya. Matanya yang kini dibalut perban.

“Mih, kok kepala Rika diperban?” tanya Rika, masih belum menyadari bahwa dia kehilangan pengelihatannya.”

“Iya, kamu kan kecelakaan kemarin jadinya diperban sementara buat nutupin luka kamu.” Mamanya berusaha setenang mungkin mengucapkannya.

“Mih, mamih kok kayak orang mau nangis?” tanya Rika sambil berusaha melepas perbannya. Setelah perbannya terlepas, hasilnya sama saja. Hanya hitam pekat yang melihatnya. Dia menyadari ada yang tidak beres pada pengeliahatannya.

“Mih, kok masih gelap sih?”

***

Riki datang ke rumah sakit dengan motor bututnya. Rasa cemas semakin beranak pinak di dalam dada dan pikirannya. Sesampainya di ruang dokter Hanif, dia langsung melanjutkan pembicaraan yang kemarin sempat berhenti karena dokter Hanif harus memeriksa pasien lainnya.

“Kamu yakin ingin melakukan ini?” tanya dokter Hanif ragu sambil memberikan berkas-berkas yang harus diisi oleh Riki,

“Selagi saya bisa menolongnya, apapun akan saya lakukan, Dok,” jawab Riki dengan penuh keyakinan. Meski dia tau apa yang akan terjadi padanya nanti.

Dokter Hanif menimang-nimang keputusan Riki. Dia memperhatikan wajah Riki sekilas.

“Kamu laki-laki hebat, Rik, saya salut sama keputusan kamu. Biasanya, orang akan mendonorkan kornea matanya jika orang itu sudah meninggal,” puji dokter Hanif. “Kalau saya boleh tau, apa alasan kamu melakukan ini?”

Riki tersenyum. “Karena saya menyayanginya, Dok. Saya menerima risikonya meskipun saya akan buta total. Asalkan dia bisa melihat dunia seperti semula, saya akan dengan senang hati bersedia melakukannya,” ucap Riki setelah membubuhkan tanda tangan terakhir selesai untuk melengkapi berkas persyaratan donornya.

Dokter Hanif tersenyum mengerti. “Oh iya, kalau saya perhatikan, selain nama, wajah kamu dan Rika cukup mirip ya.”

Riki semakin mengembangkan senyumnya, dokter Hanif menyadari kemiripannya dengan Rika, lalu dia berkata, “Itu juga salah satu alasan saya menolong Rika. Dia itu sebenarnya… –”

“Selamat siang, Dokter.” Ibu Dina tiba-tiba membuka memasuki ruangan. Dokter Hanif melihat ke arah pintu. “Ah, kebetulan sekali ibu Dina datang.”

Ibu Dina masuk ke ruangannya dan langsung terkesima tidak percaya melihat laki-laki yang menjadi lawan bicara dokter Hanif. “Kamu… kamu…”

Riki juga kaget menyadari perempuan yang datang ke ruangan ini. Suasana mendadak hening dan kaku. Dokter Hanif pun terlihat kikuk.

“Kamu, Riki ‘kan? Kamu kenapa bisa di sini?”

“Saya di sini mau menolong adik saya,” jawab Riki dengan nada ketus. Hatinya langsung terasa sakit sekali melihat perempuan yang meninggalkan dia dan ayahnya hanya demi harta. Perempuan yang memisahkan anak-anaknya sendiri

Ibu Dina berlari memeluk Riki, namun Riki menahannya. “Jangan memeluk saya, saya bukan anak kamu,” ucap Riki dingin. Rahangnya mengeras. Dia menahan air matanya.

Dokter Hanif berusaha memahami suasana ini. Adegan yang dilihatnya saat ini bukanlah urusannya. “Sebaiknya, saya keluar ruangan dulu. Silahkan dibicarakan,” ucap dokter Hanif kemudian keluar dari ruangannya sendiri dan menunggunya di luar.

“Riki, jangan begitu, nak. Maafkan mamih.”

“Nggak ada yang perlu dimaafkan, Mih. Tujuan saya ke sini hanya untuk menolong Rika. Saya nggak ada urusan dengan mamih,” jelas Riki.

Ibu Dina memeluk paksa Riki dengan sejuta rasa rindu dan bersalahnya. Selama bertahun-tahun dia mencampakkan anaknya sendiri beserta suaminya. Dia menikah lagi dengan seorang pengusaha batu bara dari Kalimantan dan pindah ke sana membawa Rika. Semenjak saat itu, ibu Dina tidak pernah lagi bertemu dengan suaminya dan Riki. Hingga semesta mempertemukannya lagi dengan anak laki-lakinya yang kini telah tumbuh dewasa.

“Maafin mamih, Rik. Mamih mohon,”

“Kamu masih punya malu untuk mengakui diri kamu sebagai mama saya?” Riki mengatakannya dengan nada menahan emosi. “Saya sudah bilang, saya ke sini mau menyelamatkan adik saya, bukan ingin bertemu kamu.” Riki kemudian keluar meninggalkan ruangan.

***

Semua ini demi kamu. Semoga setelah semua ini berlalu, kamu menjalani hari-hari kamu seperti dulu lagi,” ucap Riki menggenggam erat tangan Rika yang tertidur karena efek obat bius.

Tak lama kemudian, kesadaran Riki pun perlahan menghilang setelah anestesi menjalar di syaraf tubuhnya lewat jarum suntik. Lampu-lampu besar menerangi keduanya, disusul gerakan dokter yang cekatan menggunakan alat-alat operasi.

Dalam ketidaksadarannya, air mata Riki turun. Riki tersenyum.

Semua ini demi kamu, Iko.

***

Di sebuah pagi yang tenang dan ranum. Semburat awan putih menggantung pada langit biru, sebiru harapan. Sinar mentari perlahan-lahan memasuki sela-sela jendela yang dibuka oleh suster yang mengakhiri shift paginya agar udara bersih memasuki kamar Rika. Sayup-sayup suara aktivitas rumah sakit mulai terdengar.

Rika terbangun dari tidur panjangnya. Kepalanya terasa agak pusing dan ada kain lagi yang melingkari kepalanya seperti kemarin. Kali ini, kedua matanya terasa pegal sekali, rasanya seperti lelah bermalam-malam duduk di depan komputer. Tubuhnya pun terasa lemas.

“Kamu udah bangun, sayang? Selamat pagi,” sapa mamanya lembut. Kantong mata ibu Dina terlihat besar dan sembab, seperti habis menangis semalaman. Dia menggenggam tangan anaknya. “Kamu mau sarapan apa, Rika?”

“Belum laper, Mih. Duh, mata Rika kok mata Rika diperban lagi? Abis diobatin yah?” tanya Rika masih belum sepenuhnya sadar.

Ibu Dina mengelus rambut anaknya. “Iya, mata kamu abis diobatin supaya sembuh, sayang.” Ada rasa getir saat dia mengucapkannya.

“Syukur deh kalo gitu, aku takut banget banget tau, Mih. Masa kemarin ngeliatnya cuma hitam. Aku kan takut gelap.”

“Iya, sayang. Cepet sembuh ya.”

“Perbannya udah boleh dilepas kan? Aku mau cek handphone aku nih, pasti banyak temen-temen yang nanyain kabar aku. Ulang tahun kok malah masuk rumah sakit,” gerutu Rika

“Sabar ya, tunggu dulu biar dokter yang ngelepasnya,” saran Mamanya

Setengah jam kemudian, dokter Hanif beserta dua orang suster datang ke kamar Rika dan membantu proses pembukaan perbannya.

***

Rika bangun dari tidurnya dan melihat mamanya tidak berada di sampingnya. Mungkin mamanya sedang di kantor pikirnya. Dia mengecek handphone-nya dan mendapatkan pesan dari teman-temannya yang menanyakan perihal kabarnya, ada juga yang mengucapkan selamat ulang tahun, juga ada beberapa pesan dari mamanya yang mengingatkan jangan lupa makan akan kembali menemaninya sepulang kantor.

Setelah membalas pesan mamanya, dia bergegas mandi karena rasa gerah menjalari tubuhnya. Setelah bangun dan mengumpulkan kekuatannya, dia melangkah ke kamar mandi dengan handuk putih yang tersedia di meja besi yang berada di samping tempat tidurnya.

Selesai mandi, Rika mengeringkan rambutnya di depan kaca. Dia memperhatikan wajahnya secara seksama untuk melihat adanya bekas luka kecelakaannya lalu. Saat mendekatkan wajahnya ke cermin, dia melihat ada yang berbeda pada matanya.

Ini efek obat apa ya? Dia bertanya dalam hati.

Dia memastikan sekali lagi. Seperti ada yang terjadi pada matanya. Dia tiba-tiba merasa khawatir. Rika kemudian memanggil suster lewat bel yang terpampang di dinding kamarnya.

Lima menit kemudian suster yang kemarin membantu melepas perban datang ke kamarnya.

“Ada yang bisa saya bantu, mbak?” tanya suster itu.

“Ini mata saya kenapa ya, Sus? Kok terasa ada yang aneh sama mata saya, ya? Apa karna efek obat?”

“Lho, mbak kan dua hari lalu abis operasi donor kornea mata,” jawab suster itu polos. Rika kaget dan bingung mendengarnya.

“Donor kornea mata mbak? Mata siapa? Kok saya nggak tau?” Kali ini suster yang bingung mendengar pertanyaan Rika.

“Iya, kemarin mbak sempet kehilangan pengelihatan karena kecelakaan. Terus ada orang yang ngedonorin kornea mata buat mbak,” jelas sang suster menjelaskan apa yang dia ketahui.

Rika masih belum percaya dengan penjelasan suster itu. “Yaudah deh, Sus. Biar nanti saya tanya sama dokter dan mama saya aja deh. Terima kasih.”

“Iya, sama-sama mbak. Kalo ada yang dibutuhkan panggil lagi aja, ya,” pamit suster itu lalu keluar dari kamar Rika.

Setelah suster itu keluar, Rika terpejam menyentuh kelopak matanya, lalu dia membuka matanya dan menyapu pandangannya ke sekililing kamarnya. Dia masih belum percaya dengan apa yang telah terjadi.

Selesai menutup pintu kamar, Rika menemukan sebuah kotak putih berpita biru yang teronggok di bangku tempat mamanya tidur. Dia menghampiri bangku itu dan membuka kotaknya.

Sepasang sepatu plastik sebening kaca dan sebuah surat beramplop biru senada dengan pitanya.

“Ini kan kado dari Riki,” ucap Rika lalu membaca suratnya.

***

Selamat ulang tahun ke-21, Iko, Cinderella.

Aku harap kamu semakin dewasa dan semakin cantik seperti Cinderella. Semoga kamu bisa melihat dunia seperti sebelumnya. Selamat ulang tahun adikku sayang.

Rika berhenti sejenak, keningnya mengernyit karena tidak percaya dengan kalimat yang dibacanya barusan.

Iko, maafkan kakakmu yang nggak bisa menjagamu seperti kakak-kakak lainnya, yang nggak bisa melindungimu, yang nggak pernah ada untuk kamu.

Mata Rika terasa panas membaca kalimat di paragraf kedua, sejurus kemudian air berwarna bening mengucur menjalani pipinya.

Jangan menangis. Kakak tau saat kamu membaca bagian ini kamu pasti menangis. Tersenyumlah. Kakak senang akhirnya kamu tau siapa orang bernama Riki sebenarnya. Sekarang kamu tau Riki yang dahulu adalah orang miskin yang selalu kamu hindari adalah kakak kamu. Kakak senang.

Semoga kamu suka hadiah dari kakak, sepasang sepatu kaca mirip punya Cinderella yang dulu pernah kamu minta saat umur kamu lima tahun. Kamu masih inget nggak? Saat itu kamu mintanya sambil nangis pas ayah dan mama bertengkar. Maaf baru sekarang kakak bisa memberi kamu hadiah untuk ulang tahunmu, kamu tau kan kakak bukanlah seorang yang mampu.

Rika menangis semakin kencang, surat ini berhasil memanggil kenangan masa kecilnya yang sudah jauh dia lupakan. Dia akhirnya mengingat bahwa dia mempunyai seorang kakak. Kakak yang telah lama dia lupakan karena ayah tirinya memberikan semua apa yang dia mau. Sehingga dia tidak butuh sosok saudara untuk mengisi hidupnya.

Rika menyadari kebodohannya baru menyadari bahwa Riki adalah kakak kandungnya sendiri. Dia amat sangat menyesali perbuatannya malam itu, saat dia mengusir Riki dari rumahnya ketika dia memberikan kado untuk ulang tahunnya.

Jangan menangis Iko, kamu udah gede. Sekarang kamu bisa melihat warna dunia lagi, bukan hitam yang dulu selalu kamu takutkan saat gelap. Percayalah, hidup ini sangat berwarna ketika kamu mensyukuri apa yang telah kamu punya dan mencoba menerima kekurangan orang lain.

Kakak sayang kamu. Setelah membaca ini, kakak mohon, jangan mencari kakak ya. Kakak malu, udah miskin, buta lagi. Kakak sadar, kakak bukanlah orang yang bisa kamu bangga-banggain ke orang lain.

Sekali lagi, selamat ulang tahun ya, Iko, adikku sayang. Jalani kehidupan kamu lebih baik lagi, dan carilah laki-laki yang bisa menjaga, menghargai, dan menyayangi kamu untuk menemani hidup kamu. Kakak bahagia sekaligus lega telah memberikan apa yang kamu ingin dan kamu butuh pada ulang tahunmu. Sepasang sepatu dan sepasang pengelihatan agar kamu secantik Cinderella.

Kakak sayang kamu.

Riki Putra Narendra.

Nama yang tertulis dalam surat itu membuat Rika menangis meraung-raung memukul kasur tempat tidurnya. Benar, Riki adalah kakak kandungnya. Nama kecil Rika adalah Rika Putri Narendra, seperti nama panjang Riki, sebelum diganti oleh ayah tirinya menjadi Rika Putri Anggan.

Rika langsung menelpon mamanya untuk segera ke rumah sakit sekarang juga dan mencari Riki yang kini entah berada di mana.

Maafin adek, kakak Iki… Maafin adek. Dengan penuh air mata Rika berdoa dalam hati agar segera bertemu kakaknya.

Adek pengin kakak meluk Iko sekarang juga, adek kangen kakak, jerit Rika dalam hati.

Mamanya akhirnya datang dan ikut menangis saat Rika sudah mengetahui kebenaran dari semua ini. Mereka berdua langsung meninggalkan rumah sakit untuk mencari Riki.

***

Tok…, tok…, tok…

Pintu sebuah kamar kos terpencil di daerah blok M diketuk oleh lengan dengan penuh rasa rindu dan bersalah.

“Siapa?” tanya orang di dalamnya. Tiba-tiba terdengar suara tongkat jatuh ke lantai.

Rika dan mamanya saling memandang heran mengira-ngira apa yang terjadi. Lalu, sepuluh detik kemudian seorang laki-laki berkaca mata hitam membuka pintunya.

“Kakak…,” ucap Rika tak percaya dan langsung memeluk orang berkaca mata hitam itu.

Laki-laki itu adalah Riki.

“Maafin aku kak…,” ucap Rika yang langsung menangis tersedu.

Riki hanya berdiri mematung dipeluk oleh Rika. Mamanya pun menjatuhkan tas Gucci-nya dan ikut memeluk Riki. Dia tidak menyangka kedatangan mereka.

“Maafkan mamih juga, nak.”

Tubuh Riki bergetar dalam pelukan mereka. Dia menangis, tetapi hanya bisu yang dikeluarkan matanya. Dia menikmati kebahagiaan yang sejak dulu dia impikan ini tanpa air mata.

“…, kalian kenapa ke sini?” tanya Riki dengan suara terbata-bata.

Rika mencium tangan Riki. “Aku pengin kakak nemenin adek dan kakak nggak boleh ke mana-mana lagi.”

Kedua lengan Riki yang menggantung di udara kini memeluk erat tubuh Rika. “Kamu emang nggak malu punya seorang kakak yang buta? Yang cacat?”

Rika merajuk. “Jangan ngomong gitu! Kakak begini kan demi aku. Semua ini nggak ada harganya dibanding rasa malu yang aku tanggung. Aku nggak peduli. Sekarang kakak bisa jagain adek secara langsung. Supaya nggak ada cowok yang gangguin adek.”

Rika melepas kaca mata yang dikenakan kakaknya. Kedua mata itu terpejam. Rika menangis dan memeluk kakaknya lagi, kemudian dia mengecup lembut kedua kelopak mata Riki.

“Terima kasih untuk semua ini kak. Aku bersyukur punya kakak yang sayang banget sama aku, meskipun aku selalu berbuat jahat.”

“Tanpa kamu meminta maaf pun, kakak maafin kamu, Iko,” ujar Riki tulus.

Mamanya terharu melihat kedua anaknya bersatu kembali. Rasa bersalah dan sesalnya kini berkurang meskipun masih ada. Dia meminta maaf dengan dirinya sendiri di dalam hati. Dia bertekad akan menebus kesalahannya.

Senyum Riki mengembang, dia merasa bahagia sekali. Meskipun dia tidak lagi dapat melihat dunia lewat mata. Dia tetap bisa menyakiskan warna-warni dunia lewat hati, dan senyum adiknya tanpa perlu membuka mata.

Rika memasangkan kaca mata hitam ke mata Riki. “Kamu lagi pake sepatu hadiah kakak ya?” tanya Riki.

“Loh, kok tau?”

Riki mendekatkan bibirnya ke telinga Rika. “Soalnya kakak liat kamu mirip Cinderella.”

***

Minggu, 20 April 2014

Fase di dalam sebuah hubungan

Mungkin beberapa dari kalian engga percaya sama evolusi. Gue juga engga begitu percaya sih sama evolusi, yang gue inget tentang evolusi cuma perubahan Agumon jadi Greymon. Sama evolusi udara yang bisanya selalu mencemari bumi kita. (Lah, itu mah polusi)

Bicara soal evolusi, kita juga pasti bicara soal fase. Kalau urutan evolusi si Agumon, fasenya adalah berawal dari Botamon - Koromon – Agumon – Greymon - Skullgreymon – Metal Greymon – Wargreymon – terus terakhir yang bentuk Jogres. Buset, hapal banget gue ya. Ada yang suka kartun Digimon? Mana mana?

Dan ternyata, fase-fase atau perubahan perubahan itu engga hanya terjadi di dunia Digimon aja. Percaya atau engga, fase-fase atau evolusi-evolusi seperti itu ada juga dalam sebuah hubungan.

Fase PDKT

Fase PDKT adalah masa yang berbunga-bunga. Meski kamu engga PDKT di taman pun, tetep, PDKT itu fase yang berbunga-bunga.

Di fase ini, biasanya kita jadi kayak orang gila. Senyum-senyum sendiri, masak-masak sendiri, makan-makan sendiri. Fase PDKT juga fase yang penuh adrenalin. Suka deg-degan tiap kali ketemu gebetan, suka awkward-awkward gitu kalo deket gebetan, juga suka salah tingkah kalo deket-deket si dia.
Believe it or not, biasanya fase PDKT itu lebih indah daripada fase-fase lainnya

Fase awal-awal jadian

Awal-awal jadian biasanya jadi awal dari hal-hal baru. Kayak awal mulai panggil-panggil “sayang..” sampai awal-awal pegangan.

Di fase ini, biasanya kita masih jujur sama pacar kita. Di fase ini juga, biasanya kita selalu bisa relain hobi atau kesenangan kita demi pacar kita. Fase yang indah ya? Tunggu dulu tunggu dulu, liat dulu fase berikutnya.

Fase tengah-tengah jadian

Fase tengah-tengah jadian itu ada di tiga bulan pertama masa jadian. Biasanya, masa tiga bulan pertama jadian itu masa yang rentan putus. Kenapa? Soalnya selama tiga bulan ini kita udah tau pacar kita kayak apa. Bagusnya sampai jeleknya, kelebihannya sampai kekurangannya, bahkan hal yang bikin kita jadi sayangnya sampai hal yang bikin kita ilfeel-nya.

Di masa ini, biasanya kita mulai engga jujur. Ditanya “udah makan belum?” jawabnya “iya” padahal belum makan. Dijawab “iya” soalnya biar cepet aja.

Mungkin di fase ini kita mulai engga jujur. Tapi di fase ini, biasanya kita udah mulai berani. Misalnya udah berani marah, berani ngambek, sampai berani cium-cium atau grepe-grepe pacar kita. poin cium-cium atau grepe-grepe bisa ada di fase mana aja, bahkan engga sedikit juga yang udah ngelakuin poin ini di fase PDKT. Makanya suka ada yang jadian karena ciuman duluan sebelum jadian.

Fase terjebak

Fase terjebak adalah fase di mana kamu pengen putus, tapi engga bisa. Alasan engga bisa putusnya macem-macem. Bisa karena udah terlalu deket sama keluarganya jadi engga bisa putus, sampai engga bisa putus karena udah terlalu ekstrim pacarannya, terjun bebas dari pesawat yang lagi mengudara tanpa parasut, misalnya.
Di fase ini, biasanya kita jadi lebih cuek dan jadi sering marahan sama pacar kita kadang sampai hampir putus.
Di fase ini juga, biasanya keliatan banget siapa yang masih sayang dan yang udah engga sayang.

Fase nothing to lose

Fase nothing to lose itu fase “lanjut ayo, putus juga engga apa-apa”. Ini nih fase yang bahaya. Biasanya, di fase nothing to lose ini kamu ngelakuin semua hal sama pacar hanya karena kewajiban kamu aja sebagai pacar. Misalnya cowok nganter-jemput ceweknya tapi bukan karena sayang, tapi karena kewajiban aja sebagai pacar.

Fase nothing to lose ini kelanjutan dari fase terjebak. Di fase terjebak udah pengen putus tapi  engga dikabulin, makanya kamu tetep lanjut sama dia dengan pikiran “lanjut hayu, putus juga  engga apa-apa”.

Fase berikutnya ada dua kemungkinan

Fase putus
Di Fase ini, kamu akhirnya putus sama pacar kamu dengan menyisakan kesedihan sekaligus kesenangan. Sedih karena bakal kehilangan, senang karena emang fase ini yang kamu tunggu-tunggu.

Fase lanjut
Fase lanjut adalah fase di mana kamu akhirnya engga putus dan terus jalanin hubungan sama si dia. Kamu tentu bisa bahagia dengan pacar kamu, tapi jika kamu pernah masuk ke fase terjebak dan pernah ada juga di fase nothing to lose, maka kamu akan menikmati fase lanjut ini dengan berat hati.

Nah, di mana fase mu sekarang?
Silahkan jawab di comment box ya....

Selasa, 08 April 2014

Perjalanan mengarungi bahtera di dunia maya

Gue senang menceritakan segala keresahan-keresahan yang gue rasakan di blog ini. Dan kali ini gue gue pengen menceritakan keresahan yang pernah gue rasain di dunia maya.Social media adalah sesuatu yang sangat identik dengan dunia maya, bahkan saat ini jadi kata lain dari dunia maya. Sekarang, hampir semua umat manusia di muka bumi ini punya minimal satu akun social media. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-kakek, nenek-nekek, dan bahkan di Twitter, makhluk ghaib sejenis pocong pun bisa menjadi idola bagi para remaja-remaja unyu nan menggemaskan.

Gue sendiri, akun social media pertama yang gue punya adalah Friendster. Jujur, gue udah lupa fitur-fitur apa aja yang ada di Friendster. Udah lama banget soalnya. Hal yang gue inget dari Friendster cuma perihal kirim-kiriman testimoni. Selebihnya, gue udah lupa. Dulu, waktu gue masih main Friendster, gue sangatlah alay. Foto profil Friendster gue pun setelah gue coba inget-inget, ternyata sangat menjijikan, bahkan lebih menjijikan dari ingusnya Adul. Gue berpose manyun-manyun sok imut sambil nempelin jari telunjuk di bibir. Entah waktu itu gue lagi kesurupan setan kafir macam apa. Yang jelas, waktu itu, pose kayak gitu lagi ngehits di kalangan remaja-remaja gaul yang salah asuhan. Model rambut gue dulu juga masih belah tengah ngikutin gayanya Ariel Peterpan. Jadi, foto profil Friensdster gue mungkin bisa dibilang mirip kayak anak hasil dari perkawinan silang antara soang dan Ariel Peterpan.Seiring berjalannya waktu, Friendster mulai ditinggalkan. Muncul situs pertemanan baru di dunia maya yang sangat fenomenal, Facebook. Pada waktu itu, seseorang akan dianggap hina kalo engga punya akun Facebook. Dikucilkan dari pergaulan, Dipandang sebelah mata, dan di lempari batu. Karena gue engga mau hal itu menimpa gue, akhirnya gue memutuskan untuk ikut-ikutan bikin akun Facebook, sama kayak sebagian teman-teman gue yang lain. Agak maksa sih sebenernya. Karena gue waktu itu adalah bocah ingusan yang lumayan gaptek. Gue masih inget pas pertama kali gue ditanya sama temen perihal facebook. "Fer, gue minta facebook lo dong." Otomatis gue pun bingung harus jawab apa. Karena gue sendiri juga engga tau Facebook itu apaan. Gue mencoba tenang, walau panik, gue harus tetap terlihat cool. Dengan gaya yang sangat elegan dan senyum yang menawan, gue pun menjawab.. "hmmm.. Facebook ya? Duh sorry, Facebook gue ketinggalan di rumah. Besok deh gue bawa."  Suasana sempat hening beberapa saat. Entahlah temen gue ini ngerti atau engga, lalu dia jawab.. "oh. Yaudah. Besok aja engga apa-apa." Facebook adalah situs pertemanan paling populer saat itu. Hampir semua temen gue punya akun Facebook. Setelah gue tau Facebook itu apa, lalu secepat mungkin gue langsung minta dibikinin sama temen gue. Ya itu tadi, karena dulu gue masih gaptek. Yang waktu itu gue ngerti cuma gimana caranya ngetik keyboard komputer pake tangan. Itu juga gue ngetiknya cuma bisa pake jari telunjuk. Nulis beberapa kalimat aja kadang bisa sampe setengah jam. Akun facebook gue pun akhirnya lahir dengan selamat berkat bantuan dari temen gue. Dan gue langsung kasih nama... Ferdy Benci Anarkiezz. Masalah kembali muncul ketika gue tau, ternyata temen gue cuma bikin akun Facebook gue doang. Tanpa ada foto profil yang terpampang di sana. Niatnya gue mau minta tolong lagi sama temen gue buat masukin foto, cuma gue engga enak, takut ngerepotin. Akhirnya akun Facebook itu gue biarkan kosong dan sepi seperti sebuah Hati. Hati Jomblo. Setelah punya akun Facebook, gue jadi norak. Semua temen gue yang lewat di depan gue langsung gue tanyain nama akun Facebooknya apa. Terus gue catet di kertas dan pas pulang sekolah langsung gue Add. Tujuannya simple, cuma buat gaya-gayaan doang, biar keliatan keren aja. Karena waktu itu, semakin banyak jumlah teman di facebook, maka semakin bertambah tinggi pula kedudukan sosial seseorang. Foto profil Facebook gue yang kosong tadi, masih jadi masalah yang membuat hati gue resah dan gelisah. Gue jadi engga bisa tidur nyenyak. Hampir semua akun Facebook temen gue, ada foto profilnya. Sedangkan akun Facebook gue masih tetap tanpa foto profil. Setiap ada temen gue yang nanya.. "fer, Facebook lo kok engga ada foto profilnya sih?" gue cuma bisa jawab dengan sok bijaksana.. "iya nih, duh...gimana ya, gue orangnya engga narsis sih. Makanya gue males masang foto profil Facebook." padahal dari dalam hati gue yang paling dalam, gue berteriak.."KAMPREEET! GUE ENGGA TAU GIMANA CARANYA MASANG FOTO PROFIL FACEBOOK!! BANTUIN LAH WOOOY!!" Akhirnya Facebook pun bernasib sama seperti halnya Friendster. Mulai ditinggalkan karena makin kesini, orang makin sadar, Facebook udah engga seasik kayak dulu. Mulai banyak alien dan makhluk astral yang ikutan main Facebook. Situasi itu yang bikin sebagian pengguna facebook, hijrah ke situs social media baru yang bernama Twitter. Awalnya gue sama sekali engga tertarik buat main twitter, karena temen gue masih banyak yang main Facebook. Gue terpaksa main Twitter karena cewek gue waktu itu, maksa gue buat bikin akun Twitter. Ya daripada dia nanti ngambek terus gue di Kamehameha, akhirnya dengan terpaksa gue nurutin kemauannya dia. Pertama buka twitter, gue bingung. Karena waktu itu belum banyak temen gue yang main twitter. Ada sebagian yang udah main twitter, tapi gue engga tau username-nya mereka apa. Hal pertama yang gue lakuin di twitter adalah ngefollow akun artis-artis yang engga jelas asal muasalnya dari planet mana. Sampai akhirnya secara engga sengaja gue ngefollow sebuah akun yang konten tweetnya menarik. Setiap hari akun itu selalu ngetweet hal-hal yang di luar nalar. Bisa dibilang aneh. Tapi gue suka. Karena menurut gue dia itu terlihat berbeda dari akun twitter lainnya. Setiap hari gue selalu baca tweetnya. Dan tanpa gue sadari, gue mulai terpengaruh dengan ide-ide absurd-nya. Gue mulai tertantang buat nyoba ngetweet kayak dia.Dalam hal ini gue bukannya meniru isi tweetnya, tapi gue meniru sudut pandangnya. Sudut pandang yang gue curi dari dia adalah gimana caranya mengungkapkan keresah terhadap suatu hal dengan cara yang menyenangkan. Ya semacam cara buat merubah curhat yang menye-menye, menjadi curhat yang elegan. Memang awalnya gue kesulitan, tapi lama-lama gue mulai terbiasa. Dan kebiasaan itu masih melekat sampai sekarang. Bahkan dengan sudut pandang itu, gue jadi bisa berpikir lebih dewasa. Iya, Twitter mendewasakan gue. Banyak hal baru yang gue dapat dari Twitter. Gue bertemu orang-orang luar biasa dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Sudut pandang mereka juga terus gue ambil. Tentu engga semuanya, cuma sudut pandang yang sekiranya cocok dengan diri gue sendiri.

Rabu, 02 April 2014

Lika-liku bahtera jomblo

Seorang jomblo tak ubahnya seperti mereka yang agnostik. Kalau orang yang agnostik adalah orang yang bertuhan tapi tak beragama, nah, seorang jomblo adalah orang yang sebenarnya memiliki cinta, cuma engga punya pacar. Diantara jomblo dan agnostik itu, yang paling enak adalah yang bisa kentut dan boker, tapi engga bau (oke, engga nyambung)

Seperti halnya gue, gue yang notabene sudah menjomblo sekitar 4 tahun, adalah jomblo yang tak bisa dipandang sebelah mata apalagi tak dipandang dua belah mata. Meski gue engga punya pacar, tapi percayalah, gue punya rasa suka dan rasa cinta.

Beberapa perempuan yang sial gue sukai, kadang-kadang engga satu hati dengan gue. Misalnya, gue suka dia tapi dianya engga suka sama gue.
Tapi yang paling nyakitin, adalah ketika teman cewek gue bilang kalau kami sehati, tapi... " Eh, kita kan sehati. Gue suka cowok, elo juga suka cowok! hahahaha" sialan. *bakar*

Pasti banyak di dunia ini yang melakukan kejahatan secara fisik, namun untuk kejahatan batin, menurut gue perempuan lah yang paling sering melakukan hal itu. Dalam suatu obrolan bersama gebetan, dia pernah sangaaaat menyakiti gue secara batin. Di awal pembicaraan ia menyampaikan pertanyaan yang seakan-akan memberi gue kesempatan untuk bisa langsung mengutarakan perasaan gue, tapi sayangnya.....

dia : "Eh, kamu naksir aku yah?"
gue : waw! ini pasti maksudnya dia pingin cepet-cepet gue tembak nih... terus gue jawab, "iya, aku naksir kamu"
dia : "AHAHAHAHAHA! TAPI GUE ENGGA PERNAH NAKSIR ELO! hahahaha!" dia seperti seorang psikopat yang sangat bahagia udah bikin korbannya tewas di mutilasi jadi bakso urat. Dan gue kayak kakek-kakek yang kulitnya ngeriput gara-gara dipermaluin sama seorang cewek. Makasih loh, makasih..

Pernah juga gue ngalamin hal yang teramat pedih. Kepedihan itu adalah ketika cewek yang pengen gue deketin kayak menolak untuk gue deketin. Tiap kali gue online, dia yang awalnya online di FB, eh tiba-tiba langsung offline. Pas dia lagi sering banget ngetwit, terus gue mention dia, dia langsung engga ngetwit lagi. Tiap gue masang status yang menyanjung dia, eh status dia justru seperti menolak mentah-mentah sanjungan dari gue. Misalnya, gue pasang status "Alhamdulilah udah bisa deket :)" eh, di statusnya, dia masang "Ya Allah, jauhkanlah hamba dari setan yang terkutuk"

Astagfirullah.. Kok begini amat ya.

Banyak banget cerita nyelekit yang pernah gue alamin. Cerita nyelekit itu emang pedih sih, tapi di sisi lain, gue malah jadiin cerita itu sebagai bahan tertawaan. Semakin sering gue deketin cewek, mungkin gue akan lebih sering dicuekin atau di-nyelekit-in lagi. Tapi dengan itu, gue juga bakalan lebih sering ketawa.

"Hal terlucu adalah ketika mengingat kenangan yang sebenarnya menyakitkan, namun bisa kamu ubah jadi bahan tertawaan. hahahaha!!"

Minggu, 30 Maret 2014

Special day without the specials

"Tanpa ucapan dari seseorang yang spesial, hari ulang tahun bakalan sama aja kayak hari-hari biasanya."

Well, hari ini gue ulang tahun. Dan gue engga dapet ucapan spesial dari orang yang gue anggap spesial. Gue yakin dia engga lupa sama tanggal ulang tahun gue. Kecuali secara engga sengaja kepalanya kejedot pinggiran jamban pas lagi pengen buang air besar dan bikin dia kena amnesia.

Dari sekian banyak ucapan di twitter, facebook, whatsapp, line, friendster, mig33, dll. Dan engga ada satupun ucapan yang gue terima dari dia. Ada sih keinginan buat ngehubungin dia duluan, gue cuma sekedar pengen bilang "eh, kamu tau engga sih, hari ini aku ulang tahun loh."  Tapi kayaknya hal itu engga mungkin gue lakuin. Gue takut nanti dia bakalan jawab "oh yaa? Oke. Thanks ya infonya ya."

Di hari ulang tahun gue yang sebelumnya dia adalah orang yang paling sering ngasih ucapan ke gue. Dalam satu hari, dia bisa ngucapin 2 sampe 4 kali sehari. Lewat telepon, twitter, facebook, e-mail, dan telegram. Terkadang, dia juga suka muncul secara tiba-tiba buat sekedar ngucapin selamat ulang tahun ke gue.  Walaupun gue seneng, tapi hal itu lumayan bikin gue takut. Ya, serem aja kalo pas gue lagi asik-asiknya ngeden di Jamban terus tiba-tiba dia nongol gitu aja dari dalem ember buat ngucapin "SELAMAT ULANG TAHUN YA SAYANNGGG!!"

Tapi gue tetap bersyukur, gue dapet ucapan dari banyak orang. Mulai dari yang kenal, yang engga kenal, sampe orang yang sok kenal. Hari ini mungkin hari yang spesial buat gue. Tapi, jadi engga terlalu spesial tanpa adanya dia, orang yang gue anggap spesial. Gue cuma berharap, mungkin dia emang engga ngucapin secara langsung, tapi dia udah ngucapin berkali-kali, dari dalam hatinya.

"Untuk kamu yang saat ini mungkin sedang merayakan hari ulang tahunmu bersama seseorang yang kamu anggap spesial, selamat ulang tahun juga ya!"

Selasa, 18 Februari 2014

Berteduh

Kalian mungkin baca tulisan ini pas lagi diem atau lagi santai atau lagi jalan sama selingkuhan. Tapi gue nulis ini pas lagi berteduh. Ini ujan gede banget, segede-gede panda. *kemudian panen panda*

Gue udah dua kali berteduh. Pertama di kolong jembatan (udah kayak gelandangan aja gue) dan sekarang di pinggir jalan (udah kayak pengemis aja gue). Dan dari perjalanan yang disertai kebasahan ini, gue punya beberapa hal tentang berteduh.

Berteduh itu seperti cinta. Kita akan memilih tempat berteduh yang nyaman seperti kita memilih pasangan yang nyaman untuk kita. Tapi di sisi lain, ketika waktunya telah tiba, kita harus pindah ke tempat perteduhan yang lain. Mau, atau mau engga mau.

Tempat berteduh engga selamanya bisa kita pilih, karena kita terburu-buru dan ingin segera berteduh kadang kita engga mikir dulu untuk cari tempat berteduh yang enak dan engga kena cipratan air ujan.
itu ibarat milih pasangan dengan terburu-buru. Milih orang yang ingin di jadiin pacar tapi karena terpaksa aja.

Dalam memilih tempat berteduh juga, kadang kita engga bisa berteduh di satu tempat karena tempatnya penuh. Nah, itu tuh ibaratnya kayak kita milih pasangan tapi dia udah punya pacar. Pedih.

Kadang juga kita milih tempat berteduh yang jelek namun kita masih aja diam di tempat itu meski kita kedinginan. Nah, itu adalah tanda kesetiaan.

Pertanyaannya adalah, di mana kita berteduh sekarang? Apakah kita berada di tempat berteduh yang benar? Apakah kita sedang bersama pasangan yang tepat?

End this ending post......
Udahan ah...berhubung ujannya masih gede, gue mau ngojek payung dulu, kan lumayan dapet duit buat modal nikah.

Baii-baiiii.....